Tahun
Baru adalah sebuah repetisi, pengulangan ritual komunal namun sifatnya
individual. Arak-arakan manusia dan parade knalpot, gegap gempita bunyi
terompet dan nyala kembang api di langit yang membahana.
Namun dari semua itu, dalam arus manusia itu, semua kembali pada diri masing-masing. Setiap orang memiliki harapan masing-masing. Untuk itu kita menulis resolusi, melakukan introspeksi, sebuah munajat cinta akan kehidupan yang lebih baik.
Ini adalah tahun baru pertama saya di Jakarta. Jantung dari seluruh Indonesia. Kota ini seakan tak pernah tertidur, dan di pergantian tahun seakan semua penduduknya berdiam sejenak lalu menjadi ledakan-ledakan di berbagai penjuru di tengah malam.
Tak ada pesta yang saya ikuti, tak ada ritual apapun yang saya lakukan. Saya selalu enggan mengikuti sebuah repetisi. Namun di malam tahun baru, selepas semua arak-arakan berlalu saya menyusuri jalan-jalan Jakarta.
Saya menemukan sesuatu yang menarik di jalanan. Bukan warna-warni kembang api. Tapi Jakarta yang sedikit berkabut karena asap. Jalanan mulai sepi, parade telah bubar, kembang api sudah penghabisan. Asap kabut menjadi sisa pesta.
Buat saya, menyalakan kembang api ke langit bukanlah sebuah kesenangan belaka. Tak jua sesuatu yang sia sia. Itu adalah simbol dari mimpi-mimpi. Dibakar api semangat, meluncur ke langit, meretak dan pecah bagaikan ratna. Doa-doa yang ditunjukan ke langit dengan indah agar dipeluk Tuhan.
Sementara jalanan berkabut karena asap kembang api menjadi simbol bahwa sebagus apapun mimpi dan sebanyak apapun doa yang dipanjatkan, kita tetap menapaki kehidupan dengan samar-samar.
Malam tahun baru di Jakarta juga mengajarkan saya bahwa jalan adalah jejalan. Tempat di mana kita bisa melihat beragam aktivitas manusia. Setahu saya hanya Solat Ied yang jamaahnya bisa tumpah ruah menutupi jalan. Tetapi pengajian suatu jamaah di malam tahun baru pun ada.
Suara khotbah bersaing dengan letupan kembang api. Sementara jamaah mendengarkan beralaskan tikar atau koran diselimuti angin malam. Buat saya ini menarik, namun tak ganjil. Tahun baru, setiap orang punya ritualnya masing-masing dalam menyambutnya.
Saya pun pulang, sampai di kos yang sunyi sepi meruang. Dalam diam saya berfikir:
Mereka yang menghabiskan tahun baru hanya dengan berparade sama meruginya dengan mereka yang hanya tidur untuk mengambil jeda sebelum bertarung kembali dengan pekerjaan di tanggal 2 Januari.
Tabik
Jakarta, 31 Desember 2013
Namun dari semua itu, dalam arus manusia itu, semua kembali pada diri masing-masing. Setiap orang memiliki harapan masing-masing. Untuk itu kita menulis resolusi, melakukan introspeksi, sebuah munajat cinta akan kehidupan yang lebih baik.
Ini adalah tahun baru pertama saya di Jakarta. Jantung dari seluruh Indonesia. Kota ini seakan tak pernah tertidur, dan di pergantian tahun seakan semua penduduknya berdiam sejenak lalu menjadi ledakan-ledakan di berbagai penjuru di tengah malam.
Tak ada pesta yang saya ikuti, tak ada ritual apapun yang saya lakukan. Saya selalu enggan mengikuti sebuah repetisi. Namun di malam tahun baru, selepas semua arak-arakan berlalu saya menyusuri jalan-jalan Jakarta.
Saya menemukan sesuatu yang menarik di jalanan. Bukan warna-warni kembang api. Tapi Jakarta yang sedikit berkabut karena asap. Jalanan mulai sepi, parade telah bubar, kembang api sudah penghabisan. Asap kabut menjadi sisa pesta.
Buat saya, menyalakan kembang api ke langit bukanlah sebuah kesenangan belaka. Tak jua sesuatu yang sia sia. Itu adalah simbol dari mimpi-mimpi. Dibakar api semangat, meluncur ke langit, meretak dan pecah bagaikan ratna. Doa-doa yang ditunjukan ke langit dengan indah agar dipeluk Tuhan.
Sementara jalanan berkabut karena asap kembang api menjadi simbol bahwa sebagus apapun mimpi dan sebanyak apapun doa yang dipanjatkan, kita tetap menapaki kehidupan dengan samar-samar.
Malam tahun baru di Jakarta juga mengajarkan saya bahwa jalan adalah jejalan. Tempat di mana kita bisa melihat beragam aktivitas manusia. Setahu saya hanya Solat Ied yang jamaahnya bisa tumpah ruah menutupi jalan. Tetapi pengajian suatu jamaah di malam tahun baru pun ada.
Suara khotbah bersaing dengan letupan kembang api. Sementara jamaah mendengarkan beralaskan tikar atau koran diselimuti angin malam. Buat saya ini menarik, namun tak ganjil. Tahun baru, setiap orang punya ritualnya masing-masing dalam menyambutnya.
Saya pun pulang, sampai di kos yang sunyi sepi meruang. Dalam diam saya berfikir:
Mereka yang menghabiskan tahun baru hanya dengan berparade sama meruginya dengan mereka yang hanya tidur untuk mengambil jeda sebelum bertarung kembali dengan pekerjaan di tanggal 2 Januari.
Tabik
Jakarta, 31 Desember 2013