Jumat, 04 Juli 2014

Munajat Cinta di Jalanan Jakarta

Tahun Baru adalah sebuah repetisi, pengulangan ritual komunal namun sifatnya individual. Arak-arakan manusia dan parade knalpot, gegap gempita bunyi terompet dan nyala kembang api di langit yang membahana.

Namun dari semua itu, dalam arus manusia itu, semua kembali pada diri masing-masing. Setiap orang memiliki harapan masing-masing. Untuk itu kita menulis resolusi, melakukan introspeksi, sebuah munajat cinta akan kehidupan yang lebih baik.

Ini adalah tahun baru pertama saya di Jakarta. Jantung dari seluruh Indonesia. Kota ini seakan tak pernah tertidur, dan di pergantian tahun seakan semua penduduknya berdiam sejenak lalu menjadi ledakan-ledakan di berbagai penjuru di tengah malam.

Tak ada pesta yang saya ikuti, tak ada ritual apapun yang saya lakukan. Saya selalu enggan mengikuti sebuah repetisi. Namun di malam tahun baru, selepas semua arak-arakan berlalu saya menyusuri jalan-jalan Jakarta.

Saya menemukan sesuatu yang menarik di jalanan. Bukan warna-warni kembang api. Tapi Jakarta yang sedikit berkabut karena asap. Jalanan mulai sepi, parade telah bubar, kembang api sudah penghabisan. Asap kabut menjadi sisa pesta.

Buat saya, menyalakan kembang api ke langit bukanlah sebuah kesenangan belaka. Tak jua sesuatu yang sia sia. Itu adalah simbol dari mimpi-mimpi. Dibakar api semangat, meluncur ke langit, meretak dan pecah bagaikan ratna. Doa-doa yang ditunjukan ke langit dengan indah agar dipeluk Tuhan.

Sementara jalanan berkabut karena asap kembang api menjadi simbol bahwa sebagus apapun mimpi dan sebanyak apapun doa yang dipanjatkan, kita tetap menapaki kehidupan dengan samar-samar.

Malam tahun baru di Jakarta juga mengajarkan saya bahwa jalan adalah jejalan. Tempat di mana kita bisa melihat beragam aktivitas manusia. Setahu saya hanya Solat Ied yang jamaahnya bisa tumpah ruah menutupi jalan. Tetapi pengajian suatu jamaah di malam tahun baru pun ada.

Suara khotbah bersaing dengan letupan kembang api. Sementara jamaah mendengarkan beralaskan tikar atau koran diselimuti angin malam. Buat saya ini menarik, namun tak ganjil. Tahun baru, setiap orang punya ritualnya masing-masing dalam menyambutnya.

Saya pun pulang, sampai di kos yang sunyi sepi meruang. Dalam diam saya berfikir:
Mereka yang menghabiskan tahun baru hanya dengan berparade sama meruginya dengan mereka yang hanya tidur untuk mengambil jeda sebelum bertarung kembali dengan pekerjaan di tanggal 2 Januari.

Tabik

Jakarta, 31 Desember 2013

Rabu, 02 Juli 2014

In Utero

Tak seorang pun menyerupai sekeping pulau, tiada orang yang sepenuhnya sendirian; tiap orang adalah sekeping tanah dari sebuah benua, sebagian dari yang keseluruhan. Jika sepotong semenanjung ditenggelamkan air, Eropa akan mengecil, demikian pula dengan puncak gunung atau rumah karibmu atau dirimu sendiri; kematian tiap orang mengurangi makna diriku…. - John Donne

Siang itu, saya bangun dengan kepala serasa dihantam godam setelah begadang semalaman. Malas-malasan meraih hape yang berdenting entah sudah berapa kali, samar-samar saya melihat sebaris kalimat di layar : Adit meninggal, Bhe!

Terlalu banyak orang bernama Adit yang saya temui, sehingga saya pun tak langsung ngeh bahwa yang dimaksud adalah Adit Pengajar Muda.
Sepersekian detik sebaris kalimat muncul kembali di layar: Adit yang waktu itu ikut teleconference, Bhe. Mata saya langsung nanar di hadapan layar.

Pertemuan dengan Adit teramat singkat. Bermula ketika saya diminta membantu teleconference untuk acara FGIM. Beberapa PM di penempatan mendaftar untuk berbicara dengan para peserta FGIM di Jakarta.
Di luar dugaan, dari Tanimbar nama Adit muncul. Perkiraan saya waktu itu yang akan ikut teleconference adalah temannya yang berada di daerah lebih mudah sinyal.
Selama persiapan teleconference, saya dan Adit hanya bisa berkomunikasi lewat SMS. Tes koneksi Skype bahkan baru bisa dilakukan sehari sebelum FGIM berlangsung.
Ketika FGIM berlangsung, teleconference dengan Adit tak bisa dilaksanakan karena kendala teknis. Saya kecewa, dan mungkin terlebih lagi Adit. Apalagi ia telah membawa murid dan salah seorang guru untuk ikut jadi narasumber. Tetapi ketika saya tanya lewat SMS, dengan santai dia menjawab: "Tidak apa-apa Mas. Saya paham. Sudah biasa di sini susah dihubungi karena sinyalnya susah kalau mendung."
Dia paham teleconference punya resiko gagal yang besar, namun dia tetap mempersiapkan segala sesuatunya.

Dua hal yang saya pelajari dari Adit:
Di tengah situasi kondisi serba minim, orang bisa menjadi sangat pesimis atau melankolis. Tetapi Adit memilih menghadapinya dengan optimis dan tenang.
Di tengah situasi negara yang seperti ini, orang bisa menjadi apatis atau ikut arus. Tetapi Adit memilih menjadi oang merdeka. Mengejar idealismenya mengajar hingga pelosok nusantara.

Saya tahu, menjadi PM adalah usaha mengenal Indonesia dengan berjalan lebih jauh dan menyelam lebih dalam. Namun sebaris kata siang itu menjadi penanda bahwa Adit telah jauh melangkah bukan hanya menapaki Indonesia, namun hingga ke nirwana.

Gie bilang mati muda adalah sebuah keberuntungan. Tetapi Gie salah. Yang beruntung adalah mati ketika memperjuangkan idealisme dan berani menyasar tempat yang tak pernah kita ketahui.

Saya angkat topi untuk Adit. Sebagai PM, sebagai orang Indonesia, sebagai pemberani. Dan saya tak akan menangis, tetapi bertepuk tangan…merayakan bahwa Adit pernah hidup dan berjuang bersama.

Tabik

Kopi Fundamentalis




Rekam jejak sejarah kopi adalah sebuah perjalanan panjang. Ditemukan pertama oleh Bangsa Etiopia sekitar tahun 1000 SM, menjadi teman diskusi bagi para filsusf Perancis seperti Robespiere ketika Paris dilanda kemabukan yang amoral, hingga sekarang menjadi gaya hidup populer dari kedai kopi di hotel bintang lima hingga angkringan nasi kucing. 

Kata Kopi berasal dari bahasa Arab, qahwah yang berarti kekuatan. Sejarah mencatat awal mula kopi memang digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Di Turki kata qahwah kemudian mengalami perubahan menjadi kahveh. Oleh orang Belanda pelafalan kahveh berubah menjadi koffie dan dengan segera diadopsi oleh bahasa Indonesia menjadi kopi. 

Setiap biji kopi adalah unik, selain rekam jejak sejarah masing-masing, ada rasa yang berbeda satu sama lain. Kopi Toraja tak akan sama rasanya dengan kopi Wamena. Dan hanya orang-orang yang mencintai kopi yang mengetahui perbedaannya.

Mencintai kopi, apa pula maksudnya? Apakah seseorang harus menjadi barista untuk menjadi pecinta kopi? Nyatanya tidak. Banyak yang mengaku atau sering dilabeli pecinta kopi sebagian besar adalah mereka yang hanya bisa minum kopi. Sebagian memiliki preferensi akan suatu kopi tertentu dan menjadi minuman apa kopi tersebut. Sebagian lagi cukup puas dengan kopi sachet dan tak ambil pusing disajikan seperti apa. Tetapi kopi bukan sekedar minum dan selesai, kopi lebih dari itu. Alasan ini mendorong Pepeng untuk membuka kedai kopi bernama Klinik Kopi.

Di Jogja sendiri, kota gudeg yang masyarakatnya lebih identik sebagai penyuka rasa manis bermunculan banyak kedai kopi. Maklum, jumlah kampus dan mahasiswa semakin banyak. Ditambah situasi kota Jogja yang romantis di tiap sudutnya, ngopi pun menjadi hal yang wajib. Sebelum kedai kopi mulai marak, masyarakat Jogja sebenarnya sudah akrab dengan ngopi sambil ngobrol di tempat angkringan. Tetapi Klinik Kopi adalah salah satu contoh kedai kopi yang unik. 

Pepeng ngobrol dengan pengunjung untuk mengetahui kopi kesukaan mereka

Ketika orang datang untuk minum kopi di sini mereka tak hanya memesan kopi, minum, dan selesai. Sang barista Klinik Kopi, Pepeng, punya cara yang unik dalam menjamu pengunjung. Ibarat dokter, Pepeng bertanya apa yang dirasakan pasiennya. Lelaki dengan potongan cepak yang sekaligus juga pemilik kafe akan bertanya lebih dulu kopi seperti apa yang disukai sang penikmat. Di sini, seorang coffee addict sekalipun akan didorong untuk “membuka” dirinya untuk lebih memahami kopi kesukaannya. Apakah yang pahit total, sedikit rasa asam, atau pahit dan asam yang sebanding. 

Klinik Kopi sengaja tidak menyediakan menu. Bagi yang tak tahu kopi kesukaannya, prosesnya bisa trial and error. Tetapi di situlah seninya, sekali mendedah kopi bersama, merasakan pilihan dan membandingkan dengan pilihan lainnya, kita menjadi tahu karakter minuman kopi yang kita sukai. Filosofinya, memilih sesuatu tak boleh instan. Klinik Kopi juga tidak menyediakan gula, karena citarasa kopi memang harus dirasakan secara murni tanpa campuran apapun. Meskipun demikian, Pepeng tak mempermasalahkan jika ada pengunjung yang membawa gula atau susu sendiri bahkan camilan. 

Pepeng sedang menjelaskan tentang kopi lokal dari Nagari Lasi, Padang

Yang bingung dengan pilihan kopinya, Pepeng dengan sabar mengajak ngobrol mengenai kopi. Di sini kopi bukan lagi sebuah biji gosong dengan harum yang semerbak, kopi akan didedah menjadi sebuah cerita. Dari mana kopi tersebut, rasa dan ciri khasnya, hingga proses roasting yang tepat untuk menghasilkan rasa yang mantap. Dengan perlakuan yang seperti itu, Pepang membuat sistem antrian. Sekali jalan, ia hanya akan melayani tiga orang sementara yang lain harus menunggu giliran. Dengan demikian ia dan pengunjung bisa intim dan mengetahui kopi kesukaan masing-masing. Benar-benar sebuah klinik. 

Mesin press harga mahal? Manual lebih asoy

Lupakan juga melihat peralatan membuat kopi yang sophisticated. Kopi yang enak berasal dari roasting yang tepat, suhu air, dan gelas keramik. Tentang alat Pepeng hanya menggunakan sebuah presso manual. Di lain kesempatan, Pepeng juga sering memberikan teknik-teknik membuat kopi yang enak dengan alat-alat sederhana, bahkan membuat semacam perjalanan akhir minggu untuk memetik kopi. 

Suasana guyub di Klinik Kopi

Di Klinik Kopi, jangan pula mengharapkan bisa duduk tenang di depan laptop sambil browsing. Kedai ini tak menyediakan koneksi wifi. Deangan kondisi tanpa internet, tanpa kursi alias lesehan, dan ruang tanpa sekat, Pepeng berhasil mendorong pengunjungnya untuk saling ngobrol satu sama lain. Dari sini diskusi-diskusi lintas latar belakang seringkali terbentuk, pun demikian dengan ngobrol ngalor ngidul untuk sekedar basa-basi antara dua orang beda jenis yang mungkin saja berlanjut menjadi......naksir. Kegiatan jalan-jalan bersama di akhir pekan seperti yang diinisiasi Pepeng pun bisa terlaksana karena situasi guyub ini. 

Tiba giliran saya untuk dibuatkan kopi oleh Pepeng. Setelah bercakap beberapa lama, saya memilih kopi wamena disajikan sebagai espresso. Wamena terkenal dengan rasa pahitnya, paling pahit di antara kopi yang ada di Klinik Kopi. Sementara seorang teman saya memesan kopi Nagari Lasi dari Padang. Di antara guguran daun jati, keakraban khas Jogja, dan bau kopi yang menyeruak, tema saya tadi kemudian menyeletuk: “Klinik Kopi itu tempat minum kopi orang-orang fundamentalis.” Ya, mungkin benar, karena meminum kopi di sini kita akan belajar dari bawah, membangun fondasi pengetahuan kita tentang kopi. 








      

Djinah : Menguak Kengerian Sejarah Dari Sudut Pandang Perempuan

Komik, dari sebuah cerita bergambar yang identik dengan anak-anak berevolusi dan menemukan jati dirinya yang baru - media kritik sosial. Di sini, sebuah ide kritis bercampur baur dengan keindahan seni lewat gambar tubuh, beragam goresan dengan penuh arti, dan dialog singkat namun dengan pemaknaan dalam. istilah komik kemudian berubah menjadi grafis novel, sebuah usaha untuk meninggikan nilai rasa cerita bergambar ke dalam dunia yang lebih serius.
Pun demikian dengan Djinah - Years of Silence, sebuah novel grafis karya Evan Potons menceritakan tragedi 1965 dari kacamata seorang perempuan anggota Gerwani. Plot demi plot digambarkan secara hitam putih, seakan menyerap pembacanya sedikit demi sedikit ke dalam pasir hisap horor sejarah Indonesia. 

Sudut pandang Djinah sebagai pelaku utama dalam cerita ini, mampu menangkap kengerian lahir batin yang dialami oleh seorang wanita dalam konflik politik dan chaos. Djinah bergabung dengan gerwani tanpa alasan politik, namun kemudian harus menjadi “buruan” karena organisasinya adalah underbow dari Partai Komunis Indonesia. 

Bagi saya novel grafis ini seperti wujud visual dari buku Pram yang berjudul Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer: Catatan Pulau Buru. Pram memang tidak menulis tentang perempuan yang menjadi korban dalam tragedi 1965, melainkan tentang seorang gadis remaja yang menjadi korban militerisme Jepang. Tetapi satu yang menjadi benang merah dari keduanya, konflik selalu memberikan trauma yang mendalam bagi perempuan.

Sabtu, 13 Oktober 2012

Pesta Cahaya di Alun-Alun Kidul Jogja

Orang bilang: "Sesuatu yang sangat kita kenal tetap akan terasa berbeda ketika kita temui kembali setelah lama ditinggalkan." Rasanya ungkapan itu betul adanya. Setahun saya meninggalkan Jogja, meninggalkan hiruk-pikuk Jawa, merasuk ke dalam sepinya Gunung Tambora. Ketika kembali ke kota ini, segala sesuatunya terasa lebih semarak, lebih berwarna. Ada perasaan takjub dan sumpek di satu waktu sekaligus. 

Photograph by: Bharata Handoko
Jalan Kaliurang di sekitar UGM semakin ramai oleh restoran-restoran cepat saji. Selokan Mataram makin meriah ketika malam dengan hadirnya banyak kedai kopi baru. Mahasiswa dan kopi tak bisa dipisahkan sedari dulu. Tetapi jika dulu mahasiswa menyeruput kopi di warung burjo, sekarang coffee shop menjadi tempat yang mudah dijangkau kantong. Ah, Jogja ini memang surga. Yang terlihat spesial tak harus mahal, contohnya ya coffee shop itu. 

Pulang ke Jogja, berarti juga melekatnya kembali imajinasi akan kawasan kraton. Meskipun sudah banyak bangunan kraton yang hancur di sana-sini, namun  kawasan Jeron Beteng tetap menyenangkan bagi saya. Menyusuri jalan-jalan di kawasan dalam kraton ibarat menyusuri lorong-lorong Kota Terlarang Beijing dalam versi mini. Dengan sepeda, setiap kayuhan menyusuri Kraton Jogja menjadi terapi murah bagi saya menghalau stres. 

Alun-Alun Kidul (Selatan) adalah salah satu sudut Kraton Jogja yang selalu ramai dikunjungi orang di malam hari. Dulu ketika mahasiswa, saya selalu mampir ngangkring (nongkrong di warung tenda untuk minum wedang jahe atau makan nasi kucing) di tempat ini ketika night cycling ramai-ramai bersama teman menyusuri kraton. Lelah mengayuh sepeda terlupakan dengan segalas minuman dan melihat keramaian orang-orang ditutup matanya berusaha melintas di antara dua Beringin Kembar . Dua pohon beringin di alun-alun ini memang ikonik, karena umurnya yang uzur dan bumbu cerita-cerita mistis.

Photograph by: Bharata Handoko
Setahun tidak berkunjung ke Alun-Alun Kidul terasa tempat ini semakin ramai. Bukan hanya karena adanya angkringan, Beringin kembar, dan mahasiswa yang kuliah di Jogja semakin banyak, tetapi juga oleh kehadiran becak-becak berlampu warna-warni. Sebenarnya kendaraan berlampu hias ini bukan murni becak. Ada sepeda tandem, sepeda roda empat (ah sebut saja begitu), sepeda roda tiga. Nah untuk yang beroda empat dan beroda tiga ini saya sebut becak biar ringkas. Khusus yang beroda empat, becak ini punya empat pedal untuk dikayuh keempat penumpangnya. Sebut saja ini versi pra sejarah dari 4WD (Four Wheel Drive) hehe. Dengan uang 35 ribu rupiah becak beroda empat ini bisa disewa untuk dua kali putaran mengelilingi alun-alun. 


Photograph by: Bharata Handoko
Sambil minum wedang jahe saya mengamati lalu lintas alun-alun yang padat merayap. Mobil, motor, dan becak cahaya merayap berputar seperti melakukan tawaf. Parade cahaya yang terlihat indah diselingi tawa para manusia. Sepasang muda mudi mengayuh sepeda tandem tanpa beban, ceria. Sampai larut malam parade cahaya ini tak berhenti. Beda sekali dengan kondisi alun-alun beberapa tahun lalu. Di malam hari terasa temaram karena kurang lampu meskipun banyak orang. Makin larut makin berbahaya. Dari mulai preman yang beringas hingga isu kaum gay sering beredar di tempat ini. 

Tegukan terakhir minuman menjadi penanda saya harus pulang. Angin mulai dingin, malam semakin larut, tapi parade keceriaan manusia masih berlangsung. Alun-Alun Kidul berubah, Jogja berubah, lebih hingar bingar, lebih berwarna....


bharatahandoko.blogspot.com

Sabtu, 29 September 2012

Braga - A Fainted Moment From The Past


Lalu lintas tol Pasteur padat merayap kala itu.  Bandung di akhir pekan, diserbu ribuan jiwa metropolis yang haus penyegaran jiwa.  Jauh-jauh hari ingin menikmati Bandung sebelum pulang dari perjalanan jauh ke Jogja, saya enggan membayangkan macetnya Bandung di hari Minggu, bikin bad mood kalau dipikirkan. Saya memang sudah janji pada diri sendiri bahwa selesai tugas selama setahun mengajar di daerah terpencil, saya ingin mengunjungi Bandung. Setelah dua jam merayap di jalan tol, akhirnya saya sampai juga di rumah teman yang letaknya dekat Museum Geologi.

Masjid Lautze 2. Photograph by Bharata Handoko
Menurut saya Bandung itu salah satu kota yang unik dan cukup nyaman. Lingkungan di sekitar rumah teman saya ini tidak banyak tumbuh pohon, tapi udaranya cukup dingin.Bandung menawarkan banyak hal. Mulai dari pendidikan, seni budaya, hingga bisnis. Ketiga hal ini, berbaur dengan kultur masyarakat Sunda yang periang, melahirkan karakteristik Bandung yang edukatif, nyeni, namun dinamis dan kreatif. Konsep Belanda membangun Bandung sebagai Paris Van Java tidak pernah lekang dimakan waktu hingga kini. Bagi saya, Bandung memiliki aura romantis dan salah satu tempat nostalgia masa lalu favorit. Dan Braga adalah simbolisasi dari persepsi nostalgia saya.

Siapapun yang menyukai wisata sejarah pasti tahu Braga. Bisa dibilang jalan Braga dan sekitarnya merupakan pusat bangunan-bangunan tua di Bandung. Beberapa kali mampir di Bandung, saya tak pernah sempat mengunjungi Braga. Kali ini saya "balas dendam", hasrat memotret sudah di ubun-ubun. Tak tanggung-tanggung saya minta ditemani pacar yang yang kebetulan juga arsitek dan paham seluk beluk Braga hehehe. 

Salah satu sudut Jalan Braga. Photograph by Bharata Handoko
Kami janjian ketemuan di  Masjid Lautze 2 di Jalan Tamblong, sekalian solat dhuhur. Masjid ini memang dibangun oleh orang Cina yang beragama Islam, dan salah satu masjid yang cukup bersejarah. Dari luar memang tak terlihat bangunan ini adalah masjid, lebih mirip restoran Cina. Bingkai pintu yang melengkung menunjukkan identitas Tionghoa yang kuat. Dari segi interior bangunan ini tidak ada yang istimewa. Malah lebih mirip tempat makan yang disulap menjadi masjid. 

Siang itu cukup terik, dan mengingat jarak dari Jalan Tamblong ke Braga lumayan jauh jika jalan kaki, kami memutuskan naik taksi. Ada yang tak biasa dari taksi yang kami stop, supirnya minta harga karena argonya rusak. Tadinya kami tidak berfikir ada yang aneh. Pikir kami ya sudahlah argo mati, toh masih bisa ditawar. Kami baru tahu bahwa alasan argo mati ini hanya bohong belaka setelah pulang dari Braga dan menumpang armada taksi yang sama. 

Sampai di Braga, atmosfer masa lalu langsung merayap. Gedung-gedung art deco, cat-catnya yang lusuh, tiang-tiang listrik lama yang khas menguatkan atmosfer.  Dari beberapa kawasan kota lama yang pernah saya kunjungi, Braga termasuk yang paling bersih dibandingkan Kota Lama Jakarta dan Semarang. Lingkungannya pun relatif lebih nyaman dari dua kawasan tersebut. 

Hotel Savoy Homman. Photograph by Bharata Handoko
Beberapa bangunan sebagian dimanfaatkan kembali menjadi kantor, suatu hal yang patut dipuji untuk merevitalisasi bangunan tua agar tidak terbengkalai dan terkesan suwung. Landmark Braga - Hotel Savoy Homman menurut saya  adalah salah satu contoh revitalisasi yang berhasil. Bangunan ini difungsikan kembali menjadi hotel elit seperti sedia kala tanpa merubah bentuk dasar bangunannya. Melihat menara Homann yang artistik, saya langsung teringat game horor Bio Shock yang ngeri-ngeri sedap. Tangan saya pun sangat gatal untuk terus memotret. Sayang EOS 500D ditambah Sigma 10-20 saya tak kuasa melawan cahaya matahari.Terlihat Braga memang sedang berbenah. Selain Savoy Homman yang difungsikan kembali, Museum Konferensi Asia Afrika pun makin cantik. Bioskop Majestic sekarang menjadi gedung pertemuan dan berganti nama menjadi New Majestic. 

Beberapa bangunan berubah menjadi restoran. Perut saya lapar karena berjalan kaki lama dan mencium bau wangi masakan, tapi masih banyak bagian yang mesti disasar. Toko Sumber Hidangan masih menanti. Bagi yang mencari kue-kue zaman kakek nenek kita, toko ini tentulah pilihan tepat. Sumber Hidangan memang menjual kue-kue khas Belanda dan kue-kue lain yang sudah jarang kita temukan. Dari mulai arsitektur toko, lemari display, toples, hingga kertas pembungkusnya masih asli! Bahkan nomor telepon lima digitnya masih tercantum. Sambil memotret, saya manggut-manggut mendengarkan sang pacar menjelaskan fungsi bentuk interior toko ini. 

Toko Sumber Hidangan. Photograph by Bharata handoko
 
Sisa bangunan Penjara Banceuy.
Tidak semua bangunan di Braga ini dipertahankan bentuk aslinya. beberapa bangunan malah dirombak habis demi alasan ekonomi. Padahal, menururut peraturan bangunan cagar budaya boleh diubah asal tidak merusak desain dasarnya. Pacar saya ngomel-ngomel tiap kali melihat bangunan yang dipugar habis, diganti gedung menjulang yang membentuk kesan tak seimbang dan asal. Di sisi lain,  sangat sedih melihat beberapa bangunan terbengkalai dan hancur perlahan. Bangunan Sarinah malah mengenaskan. Bentuknya sudah mirip hutan Jumanji. Tak jauh dari Braga ada bangunan sejarah Penjara Banceuy tempat Bung karno pernah ditahan Belanda. Seharusnya bangunannya besar, tetapi karena sudah berubah jadi kawasan pasar hanya tersisa ruangan tahanan Bung Karno. Sekilas orang malah mengira ruangan itu adalah tempat kencing saking tak terawatnya.

Puas menjelajah Jalan Braga, sambil meluruskan kaki yang pegal kami berdua mampir ngopi di Kedai Kopi Purnama di Jalan Alkateri. Kedai kopi ini juga kedai kopi yang uzur, seuzur perusahaan kopi Aroma yang terkenal di Bandung. Roti bakar srikayanya mantap, apalagi bersanding dengan segelas kopi hitam.


bharatahandoko.blogspot.com