Minggu, 26 Juni 2011

12 Jam Perjalanan dan 1 Malam Penuh Bintang


Kita tak pernah tahu kemana kita akan melangkahkan kaki kita. Setinggi apapun cita-cita kita, sejauh apapun imaji kita melanglang buana, kita tak pernah tahu kapan dan di mana petualangan besar akan dimulai. Kita hanya memiliki kaki-kaki kecil yang setapak demi setapak menjalani kehidupan ruang dan waktu.
Begitu juga aku di sini. Di tempat yang aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Sebuah tempat sunyi sepi jauh dari centang penerang dan klakson yang melenguh panjang bernama Tambora. Sebuah tempat di mana hanya ada bayu yang mendesir dan tanah sabana beratap langit penuh sebaran bintang di malam hari.
Selama dua belas jam aku berguncang-guncang dari Bima menuju Kecamatan Tambora – tempatku mengajar selama setahun. Di jalan-jalan berdebu nan terjal diapit oleh Gunung Tambora di Selatan dan Laut Jawa di Utara, aku seakan tersedot perlahan-lahan menuju sebuah negeri baru. Dari keramaian kota, berlanjut ke jalanan beraspal yang menanjak, lalu perlahan memasuki pekatnya malam perkampungan di padang sabana. Dua belas jam yang pendek, namun juga terasa panjang di jalan yang seakan tak berujung.



Petualangan besarku berawal di sini. Di negaraku, di suatu tempat yang seringkali kulihat dalam peta namun seakan tanah antah berantah tak tersentuh. Petualanganku ternyata tidak dimulai di sebuah tanah bernama Amerika, tempat di mana aku menjejakkan kaki dua tahun lalu. Bukan kopi Starbucks dan sepotong muffin yang kunikamati di pagi hari, namun segelas kopi hitam pekat Tambora bercampur manisnya gula dan sepotong puncak gunung yang berwarna emas. Tak ada seribu kunang-kunang di Manhattan, tetapi langit maha luas dengan kerlip bintang-bintangnya diselingi sesekali bintang jatuh.
Setahun ke depan, bersama anak-anak yang akan kuajar, aku belajar menjadi Indonesia. Indonesia yang selama ini hanya kuketahui dari televisi, majalah, dan buku-buku pelajaran. Ribuan lembar kubaca selama bertahun-tahun tentang negeri ini, dan berjam-jam kutonton videonya, tapi aku tak pernah tahu secara pasti negeriku ini. Aku akan belajar menjadi Indonesia. Indonesia yang cantik molek dengan alamnya, Indonesia yang yang belum dipoles hedonisme dan modernisasi sehingga terlihat kumuh.
Aku teringat kala itu, seorang teman di hadapan Wakil Presiden berkata,”tempat-tempat terindah di Indonesia seringkali adalah tempat-tempat termiskin.” Entah mengapa, di saat-saat terakhir aku meninggalkan Jakarta yang seperti lautan neon, kalimat itu selalu terngiang. Bahkan, di tengah rasa sendu ketika melepas teman-teman satu pelatihan di bandara aku masih mengingatnya. Kami semua akan menuju tempat-tempat terindah di Indonesia, tapi kami juga akan mencemplungkan diri dalam keseharian penuh keterbatasan yang keras. 



Aku berfikir, apa yang dapat kuperbuat di tengah keterbatasan itu. Aku hanya anak kota yang terlanjur dibuai lama oleh kenikmatan. Apakah aku bisa bertahan di tengah padang sabana tanpa listrik dan sedikit air? Bisakah aku menamatkan petualangan besar ini? Sejak aku di bandara, dalam 12 jam terguncang-guncang di truk sapi, aku selalu berfikir. Tapi, dalam satu malam penuh bintang di Tambora, entah mengapa aku mulai yakin bahwa petualngan ini bisa kulewati. Mungkin yang kujalani nanti tak melulu berisi romansa. Mungkin aku akan terjatuh dan terperosok beberapa kali. Mungkin aku akan merasa lelah dan mengumpat di tengah jalan. Mungkin kehadiran dan karyaku di sini nanti tak semegah yang aku bayangkan. Dan ketika aku pulang, tak kan ada sambutan meriah bak seorang kstaria menang pertarungan. Tapi aku yakin bahwa aku bisa menjalani tugasku di sini, di tengah keterbatasan fasilitas namun bersama orang-orang dengan keramahan melimpah. Aku yakin aku mau mengajar dengan baik...dan anak-anak yang aku ajar nantinya yang akan mengubah tempat-tempat terindah Indonesia menjadi lebih baik. 



Sori Bura-Tambora, 22 Juni 2011

www.bharatahandoko.blogspot.com

Jumat, 24 Juni 2011

Abovo



 

Orang bilang, setiap manusia memikul takdirnya sendiri-sendiri. Begitu juga kami di sini yang berkumpul bersama berusaha mengukir sejarah kami sendiri. Sejarah yang tidak ditentukan oleh siapa yang menang dan yang kalah. Hanya kami, dari kami dan untuk kami.
Tak perlu kiranya kalian tahu kami satu persatu laiknya sebuah abovo kisah-kisah ksatria zaman dahulu. Meski kami datang dari tempat yang berbeda satu dengan yang lain, namun kami memiliki mimpi dan kemauan melangkah bersama. Kami mungkin bukanlah siapa-siapa, hanya sekumpulan pemuda biasa dengan mimpi-mimpi akan bangsa yang lebih baik.
Bisa saja kami satu di antara kalian. Orang-orang idealis yang berteriak lantang menanggapi ketidakadilan yang seringkali terjadi di negeri ini. Aktivisi-aktivis kampus yang galau akan masa depan bangsa. Atau pelahap buku-buku berat nan artistik sehingga kami menjadi bohemian muda yang naif. Bisa juga kami adalah anak-anak hedon yang suka pergi ke mall menikmati tubuh-tubuh semampai di sudut-sudutnya. Membelah malam di tengah hingar bingar musik dan remangnya lampu-lampu disko. Tapi, kami semua memiliki mimpi yang sama akan negeri ini.
Kami semua....ingin memberikan sesuatu bagi negeri ini. Selagi masih muda, selagi tenaga pikiran dan waktu memihak kami, dan selagi kesempatan ada. Dengan segala kerendahan hati kami menyebar ke seluruh pelosok negeri ini untuk mengajar bibit-bibit bangsa. Dengan segala kerendahan hati.....kami hanya bisa mengajar mereka membaca, menulis, dan berhitung, serta berbagai cerita tentang betapa luasnya dunia ini.
Kami tinggalkan gemerlap metropolitan dan parade knalpot yang tiada habisnya. Segala kemapanan dan kenyamanan yang telah mendarah daging di tubuh kami tinggalkan untuk menyesap sedikit rasa kehidupan yang lain. Rasa kehidupan di luar sana, di tengah keheningan panjang malam hari, di tengah gelap tiadanya listrik, dan terjalnya jalan-jalan berbatu.
Kami capai, kami marah, dan kami muak.....pada semua yang ketimpangan yang ada di negeri ini. Kami curahkan semuanya lewat demonstrasi, orasi, tulisan di media, blog, celotehan di jejaraing sosial, hingga obrolan di warung kopi (atau bahkan ketika kami mengigau..). But we choose to stop cursing the darkness, and start lighting the candle. Dengan segala kerendahan hati.....kami memilih menyalakan lilin dengan mengajar, karena hanya itu yang kami mampu.
Tak usahlah bercakap tentang nasionalisme, karena nasionalisme hanyalah benturan nafsi-nafsi. Kami pun sadar bahwa kami bukanlah superhero dengan aksi megalomaniak. Kami juga bukan obat bagi barisan sakit hati yang merasa ditelantarkan negara di luar sana. Kami hanya pemuda biasa yang berbagi mimpi yang sama. Mimpi bahwa Indonesia bisa menjadi lebih baik. Dan untuk itu, kami berjalan bersama-sama melalui sebuah gerakan-mengajar bibit-bibit penerus bangsa yang tersebar di pelosok negeri. Kami yang berkulit putih ataupun sawo matang, bermata lebar ataupun yang bemata sipit, yang berambut ikal dan yang lurus, berambut hitam atau pirang, hidung mancung maupun pesek, tinggi maupun pendek, serta semua perbedaan fisik yang selalu menjadi pemisah kita selama ini.  Kami berbagi mimpi, melangkah bersama, selagi muda. Mimpi akan bangsa yang lebih baik, yang sejatinya mimpi akan diri kami sendiri di masa depan.......
Bogor, 1 Mei 2011

www.bharatahandoko.blogspot.com