Rabu, 04 April 2012

Cap Go Meh


Pada sebuah lukisan, tergambar sebuah perayaan yang meriah. Wajah-wajah penuh sukacita, sebagian bertopeng sebagian tidak. Kesan klasik dan berkarakter sangat kuat dari goresan kuas. Lukisan itu berjudul “Cap Go Meh”, dilukis oleh tokoh senirupa Indonesia Sudjojono di tahun 1940. Sekilas orang tak akan mengira bahwa lukisan itu menggambarkan perayaan Tionghoa. Merahnya merah tak tergambar di sana, tak ada liong, tak ada mata-mata sipit, yang ada hanya sebuah perayaan bak pasar malam para pribumi. Dari lukisan itu saya sadar bahwa perayaan Cap Go Meh bukanlah sebuah perayaan baru, bukan pula hal asing, bahkan terasa perayaan ini-sekalipun menggunakan bahasa Cina-adalah milik siapapun. Di waktu ketika Pemerintahan Kolonial mengkotakkan masyarakat berkedok cacah jiwa, Cap Go Meh menjadi perayaan bersama di mana semua orang baik mereka yang dilabeli pribumi dan Tionghoa. Pembauran telah terjadi ketika konsep-konsep multikultural dan hak asasi belum muncul.

Cap Go Meh, yang dirayakan setelah Imlek selalu memberi kesan yang mendalam buat saya. Terlebih lagi tahun ini, ketika saya bertugas sebagai Pengajar Muda di suatu daerah dengan etnis Tionghoa yang jumlahnya sangat minim. Mungkin juga karena saat ini kondisinya yang berbeda, atau mungkin juga karena saya hidup sedari kecil dekat dengan budaya Cina, sehingga terasa ada yang "kurang" tahun ini - meriahnya merah dan gegap gempitanya kembang api yang laksana bunga di langit malam. Imlek telah menjadi sebuah perayaan nasional. Sebuah pengakuan akan mereka etnis Tionghoa - sebuah entitas yang selama ini dianggap beda.

Tapi apakah sebuah perayaan seremonial bisa menunjukkan perasaan seseorang? Sepertinya kelewat absurd apabila mengakui Imlek sebagai perayaan nasional bisa menjadikan etnis Tionghoa merasa nyaman menjadi Indonesia. Saya tidak bermaksud rasis terhadap etnis Tionghoa. Yang saya tekankan bukanlah Imleknya, tetapi terlalu seringnya kita terjebak dalam fantasi acara seremonial. Pertanyaan tersebut bisa saja ditunjukkan untuk semua. Saya, kamu, kalian, bahkan mereka yang merasa “bangga” menjadi kaum pribumi.

Rasa nyaman sendiri saya akui relatif, bahkan kemunculannya adalah sebuah probabilitas. Karena saya tidak ingin menambah rumit racauan saya, maka saya menyederhanakan rasa nyaman menjadi nasionalisme, yang apabila diidentifikasi lagi adalah sebuah laku kepedulian dan keaktifan etnis Tionghoa dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selama ini terkesan hanya segelintir orang Tionghoa yang peduli dengan situasi sosial ataupun keadaan negara. Mungkin juga mereka masih trauma karena selama Orde Baru karena “pembatasan-pembatasan” terhadap etnis ini. Yang terlihat di mata kita, etnis Tionghoa jago berdagang, maka logis apabila mereka banyak yang merajai bisnis di Indonesia. Kaya, memiliki hunian eksklusif, mobil mewah, seringkali hang out dalam kelompok sesama Tionghoa, bahkan dalam memilih sekolah, seakan tak tersentuh oleh “pribumi”. Susah rasanya melihat anak-anak muda Tionghoa ada di kampus negeri, lantang ngomong masalah sosial di kampus ataupun tempat demo, nongkrong di angkringan. Rasa iri kemudian muncul, dan syak wasangka tumbuh bak cendawan di musim hujan. Etnis Tionghoa kemudian hanya dicap kelompok pencari keuntungan ekonomi semata, tidak membaur, nggak paham dan peduli dengan masalah sosial karena hidupnya yang eksklusif. Maka tak heran ketika kerushan Mei ’98 toko-toko milik etnis inilah yang menjadi sasaran pertama penjarahan dan penghancuran. Bahkan hingga sekarang hal ini masih berlaku.

Yang tak terlihat di mata kita, ada etnis Tionghoa yang kere, berkulit hitam karena harus mengais sesuap nasi di bawah terik matahari, suka nongkrong bareng orang-orang “pribumi”, bahkan peduli dengan lingkungan sekitar meskipun borju. Tidak percaya? Cek saja Cina Beteng dan di daerah Teluk Naga atau di sudut manapun di kota, pasti ada etnis Tionghoa-yang kaya sekalipun, yang jauh dari stereotip negatif. Yang diperlukan hanya mencari dengan teliti, dan mengenal mereka dengan hati.

Menurut saya semua manusia itu sama saja. Tanpa melihat SARA, pasti akan ditemukan orang yang baik maupun yang jahat. Begitu juga dengan etnis Tionghoa. Saya temukan banyak yang menyebalkan, tapi orang-orang Tionghoa yang baik dan peduli pun tak terhitung jumlahnya. Begitu juga saat ini, saya temukan banyak etnis Tionghoa yang sangat baik, nasionalis, dan peduli akan kondisi sosial bangsanya. Saya tak perlu sebutkan sipa mereka satu per satu. Mereka adalah teman-teman saya, rekan-rekan diskusi saya ketika kegelisahan tentang bangsa ini sudah sampai di ubun-ubun, dan guru-guru saya yang memberikan bekal mengabdi selama setahun. Mereka adalah yang kita anggap “tak tersentuh” dan berbeda. Tapi mereka punya keberanian untuk berpikir keras membangun negeri ini, bersusah-susah hidup dalam kesusahan, berjibaku dengan kondisi alam yang keras, dan membaur bersama masyarakat.

Dengan pengalaman yang hebat dan tingkat pendidikan yang tinggi, mereka bisa saja mengenyam kenikmatan dalam pekerjaan-pekerjaan mapan, ataupun duduk dalam pemerintahan. Tapi mereka memilih untuk “hanya” menjadi bagian dari Pengajar Muda. Menjadi guru di daerah terpencil, mengajarkan kejujuran dan betapa bangsa ini masih elok meskipun rapuh pada hati anak-anak di pelosok negeri. Dan ketika perayaan Imlek tak bertabur warna-warni kembang api, dan Cap Go Meh hanya diiisi oleh suara lenguh sapi dan ringkikan jangkrik, cuma kalimat So Hok Gie yang saya ingat:

“Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seseorang yang ingin mencanangkan kebenaran”



Bharata Handoko
Sori Bura, Tambora, Cap Go Meh 2012

Untuk Ibu Wei, dan teman-teman etnis Tionghoaku

Senin, 02 April 2012

Broken Arrow


Sudah beberapa hari ini surau dusun di tempatku selalu ramai sehabis Isya oleh anak-anak. Di dusun yang hanya berjumlah 40 KK ini, tanpa listrik, dan udara dingin menusuk bersama angin bergemuruh bak derap kuda-kuda liar di malam hari, berada di luar rumah sehabis Isya bagi anak-anak adalah mustahil. Siluet pohon-pohon dadap dan kelanggo menjulang tinggi bak raksasa hitam dan suara desir angin di sela-sela daun adalah horor. Orang-orang dewasa pun, lebih memilih duduk di dalam rumah mengitari lampu minyak, sebuah kehangatan dan penerangan kecil yang menentramkan jiwa-jiwa sederhana. Jikalau tidak, mereka akan berkumpul di salah satu rumah, berbagi cerita yang tak jelas ujung pangkalnya, sambil membakar tembakau harum dan menyeruput kopi yang sepekat langit malam.
Sehabis Isya, anak-anak itu duduk bersila atau bersimpuh, membentuk setengah lingkaran atau berjajar rapi. Mata-mata kecil mereka berbinar memantulkan cahaya lampu minyak bak bintang kejora.  Mulut-mulut mungil berkomat-kamit menghapalkan surat-surat pendek Al-Quran. 10 surat pendek, tak kurang tak lebih. Mengalirkan bisikan ilahi di keremangan surau yang meruang.  
Menghapal surat-surat pendek untuk mengikuti lomba MTQ tingkat desa. Bukanlah sebuah prestise semata, tapi lebih bagaimana anak-anak bisa merasakan atmosfer kompetisi yang sehat. Bersabar mengasah kemampuan membaca Al-Quran malam demi malam, berani menyuarakannya dengan sebaik mungkin di atas panggung, dan berbesar hati menerima segala hasil meski tak juara, adalah hal-hal yang lebih berharga dari kemenangan lomba dan hadiah apapun.
Menghapal bukanlah hal yang mudah. Ketika mata harus memincing melihat huruf-huruf hijaiyah bersambung di bawah cahaya temaram, ketika lidah terasa kelu berucap karena tak terbiasa. Seperti bahasa Indonesia, membaca Al-Quran adalah hal yang luar biasa bagi anak-anak itu mengingat keterbatasan akses untuk belajar. Para orang tua memang fasih membaca Al-Quran dan berbahasa Indonesia, tetapi mereka adalah jiwa-jiwa sederhana yang bahkan terlalu sederhana. Seakan mereka sudah terlalu lelah mengolah tanah-tanah padas untuk bertani sehingga tak sempat memperhatikan pendidikan anak-anaknya, dunia dan akhirat. Namun kesadaran adalah sebuah proses, bukan kejadian serta merta atau pemberian sejak lahir. Kehadiran para pendidik, lomba MTQ ini, dan dengung suara anak-anak menghapal Al-Qur’an menggetarkan hati para orang tua betapa pendidikan itu penting.
Pada malam lomba semua orang berkumpul. Setelah dua hari dirundung was-was karena hujan lebat berangin, malam itu mereka merasa lega karena bisa mengadakan MTQ tingkat desa, yang bahkan ternyata adalah MTQ tingkat desa pertama di Kecamatan Tambora. Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat jagoannya beraksi, tak peduli harus melewati hutan gelap dan jalan licn berlumpur. Ini bukan pasar malam menurutku, tapi keceriaan orang-orang terasa seperti di pasar malam. Satu per satu peserta naik panggung, menampilkan kemampuan terbaik mereka. Tak terkecuali anak-anak. Setiap penonton menyaksikan dengan seksama seperti menonton layar tancap. Sementara temanya tampil, anak-anak lain sibuk komat kamit menghapal Al-Quran seperti merapal mantra, ataupun sekedar membaca beberapa ayat untuk meluweskan lidah yang kaku karena grogi.
Ada satu anak dusunku yang terlihat gelisah dan kesepian di tengah hiruk pikuk manusia. Bukan karena grogi, tapi seperti orang yang menanti sesuatu. Matanya menyapu seluruh sudut tempat lomba, sedikit-sedikit menoleh di antara duduknya yang tak jenak. Di sebelahnya duduk ibunya, mengusap lembut kening anak perempuanya yang sedikit menangis.  Ketika anak itu naik panggung, anak itu pun masih sempat menatap barisan penonton dengan hening sebelum membaca Al-Quran. Lidahnya kelu, nafasnya tertahan di awal-awal, seperti ragu melanjutkan lomba atau tidak. Dan ketika penampilannya selesai, anak itu turun panggung dengan menatapi anak tangga satu-satu, lesu.
Keluarga anak itu, ayah ibunya, baru saja bercerai. Pada bulan ramadhan yang seharusnya syahdu dan damai orang tuanya bertengkar. Amarah yang lepas menggetarkan dusun yang tak seberapa besar itu, dan setiap fajar menyingsing adalah sebuah episode drama tragedi. Seorang anak yang tumbuh dengan jiwa sederhana, di tempat di mana hiruk pikuk kehidupan dan lini masa seakan berhenti berjalan, harus menghadapi situasi yang kompleks di umur yang belia. Saat itu kulihat ia begitu tegar di usianya yang rapuh. Selalu tersenyum biar amarah yang mengelilinginya jua, selalu lantang bercakap denganku tanpa beban bahwa mala mengikuti. Tapi memang aku tak berhak untuk menilai perasaan manusia, apalagi seorang anak. Apa yang ada di wajahnya, di balik satu senyuman manis, bisa jadi adalah sejuta luka yang tak terperi. Ini adalah waktu ketika simpati dan empati tak cukup menyelami hati yang sudut-sudutnya adalah labirin perasaan yang menyesatkan.
Anak itu tetap duduk diam, sebuah keheningan di keramaian. Wujudnya seakan semakin surut di malam yang larut, air mata menitik yang seperti embun jatuh di malam yang salah. Esok hari, ketika matanya tak lagi sembab, ibunya bercerita kepadaku apa yang terjadi dengan anaknya semalam. Tepat ketika bayu mulai berdesir di sela-sela dedaunan, menggugurkan daun-daun berwarna kuning tanda penghabisan takdir, ucapan ibunya menambah ngelangut.
Pada malam lomba, anak itu menanti ayahnya pulang melihat ia tampil di panggung seperti ayah anak-anak lain yang mengantar menembus halimun dan menapaki kegelapan malam. Tapi di antara orang-orang itu, di antara wajah-wajah itu, tak satupun ia melihat wajah laki-laki yang ia kenal, wajah ayahnya....


Bharata Handoko
Sori Bura, Tambora, Idul Adha 2011

Untuk muridku yang pikirannya pernah mengembara ke medan Kurusetra yang berdebu