Minggu, 04 September 2011

Dogtown Stories

"Surat tetap merupakan sarana yang tak tertandingi untuk mengesankan gadis muda; huruf yang mati itu sering berpengaruh lebih kuat daripada kata yang hidup." (Kierkegaard)

Kalimat melankolis itu terus terngiang di kepala manakala menulis surat ini. Tak semua kisah harus dituliskan, tak semua harus dituturkan. Namun kiranya ada manusia-manusia yang gelisah menunggu kisah di sana yang selalau siap duduk sejenak membaca rentetan kata-kataku. Dari huruf-huruf yang mati, mungkin-karena aku tak tahu pasti, mereka merasa ada sebuah "kehidupan" yang mengalir dan kemudian membekas kuat. Aku juga bukanlah penulis yang baik, seringkali malah absurd dan carut marut. Tapi dari huruf yang mati itu......kehidupanku terucap jelas.

Picture by: Bharata Handoko
Sudah dua bulan lebih aku tinggal mengajar di Tambora. Begitu banyak kisah terpatri dalam ingatan di waktu yang singkat ini. Seakan kutemukan Isfahanku di sini. Di pagi hari nan gelap gulita kubuka mataku  lalu membasuh muka dengan air dan kemudian dingin merambat cepat ke seluruh syarafku, kemudian kubergegas mendengarkan ayat-ayat ilahiyah dilantunkan imam di sunyi sepi surau yang meruang. Di lain waktu, tubuhku bergerak bebas menggiring bola di padang rumput yang menguning sambil menghindari tai sapi dan tajamnya bayam liar - sebuah refleksi bahwa hidup itu tak mudah tapi tetap sebuah seni. Atau, sesekali berjalan tanpa alas kaki agar embun membasuh telapak kaki dan wanginya bunga kopi mekar mengiringi langkah kecilku. Dan ketika aku terbangun karena anjing melolong di malam hari, maka bulan dan langit bertahta bintang menemaniku menghabiskan malam-malamku. 
Tapi Isfahan terbesarku adalah ketika berhadapan dengan anak-anakku, murid-muridku. Malaikat-malaikat kecil bertelanjang kaki yang setiap hari berlari menuju sekolah. My barefoot little angels. Ada keringat yang menetes, urat yang menegang, namun selalau ada rasa lega dan tawa yang lepas ketika mengajar mereka. 

Picture by: Bharata Handoko
Tapi ini adalah cerita tentang hidup yang tak selalu manis. Di tengah semangat mereka, di tengah surga hutan hijau beratap langit biru yang mereka susuri setiap hari, Tambora juga bukan sebuah tempat yang ramah. Hidup adalah sebuah aliran waktu di mana kesenangan dan ujian berdampingan laiknya sepasang kekasih.
Hidup di sini terkadang tak ubahnya  kehidupan di gheto atau daerah suburban. Ekonomi yang pas-pasan, orang tua kawin cerai ,dan perilaku yang keras karena ditempa panasnya kondisi hidup,  Beberapa kali aku kehilangan murid-muridku. Satu, dua (dan semoga angka ini tak berlanjut)  siswaku harus datang dan pergi tanpa kejelasan karena orang tua mereka bercerai.  Atau, ketika pagi yang sejuk harusnya menjadi awal yang sempurna bagi hidupmu, kau melihat seorang anak menangis keras karena dipukul orang tuanya.
Tapi kawan, ah...seandainya kau ada di sini sekarang melihat anak-anak itu, di tengah kerasnya hidup mereka tetap bisa tersenyum manis dan dengan riang gembira bermain-main di serambi rumahku. Kadang aku bercakap dengan mereka, membaca dengan mereka, atau duduk diam mengamati mereka yang asyik saling berkejaran di depan mataku. Sejenak jauh dari masalah yang menimpa keluarga mereka, sejenak melupakan beban hidup yang mungkin mereka sendiri belum pahami dengan pasti. 

Dan di suatu sore hari yang disinari hangatnya matahari senja emas, ketika aku hendak rehat sejenak beberapa hari meninggalkan Tambora. Malaikat-malaikat kecil itu menghampiriku dan berkata: "Pak guru, kapan mengaji lagi? Sepi........" 



 


Tambora, 1 Syawal.........
(bharatahandoko.blogspot.com)