Jumat, 21 Januari 2011

Indonesian Movie: Is It Done Yet?

Tanggal 30 Maret beberapa waktu lalu adalah sebuah hari yang penting bagi insan perfilman Indonesia. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia perfilman nasional, Hari Film Nasional setidaknya menjadi momen penting bahwa sejarah perfilman Indonesia telah berlangsung begitu panjang, yang hingga saat ini mencapai usianya yang ke-60. Dalam rentang waktu yang panjang itu pula, industri perfilman Indonesia mengalami jatuh bangun, mengalami masa jaya dan keterpurukan berkali-kali. Ironisnya, persoalan-persoalan yang dihadapinya pun selalu sama. Bagi sebagian orang, terutama bagi saya sendiri, perfilman Indonesia hingga saat ini adalah rangkaian sinematik kondisi bangsa Indonesia sendiri-jatuh bangun karena hal yang sama. Ketika industri perfilman sedang bergairah dan hampir mencapai puncak kreatifitasnya, hal ini selalu saja terganjal oleh isu-isu lama seputar sarana dan prasarana, kebijakan pemerintah, hingga pertentangan antara idealisme dengan kuasa modal.

Tengok saja rentetan judul-judul film yang telah dihasilkan oleh industri perfilman kita. Ketika industri berada pada puncak kreatifitasnya karena mampu menghasilkan film-film bermutu bagus, acapkali hal tersebut tercoreng oleh aksi beberapa produsen film yang membuat film asal-asalan dan tidak memperhatikan segi cerita dan asal laku. Fakta di lapangan mencatat, di tengah gandrungnya masyarakat kita akan film-film nasional, film nasional yang diproduksi malahan cenderung mengusung tema yang sama. Beberapa film bahkan terang-terangan mencaplok cerita film luar yang terang-terangan diketahui masyarakat luas, sementara beberapa film yang lain dengan vulgarnya mengusung tema berbau seks dan cerita setan yang hiperbolik. Sedih memang, tapi itulah film-film nasional yang terpampang di sebagian besar bioskop-bioskop Indonesia. Dari bisokop murah hingga jaringan 21.

Separah itukah kondisi perfilman kita? Jawabanya memang tidak simpel, karena kenyataanya sineas-sineas kita masih mampu menghasilkan sebuah karya yang bermutu. Beberapa film seperti Ada Apa Dengan Cinta (AADC), Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Naga Bonar Jadi 2 merupakan contoh film yang tidak hanya bagus dari segi mutu cerita dan gambar, tetapi mampu menarik penonton dan finasial dalam jumlah yang besar. Sementara di sisi lain ada film-film kita yang sungguh sangat artistik seperti Opera Jawa karya Garin Nugroho, dan Blind Pig yang kontroversial. Meskipun film-film ini memiliki nilai seni yang sangat tinggi, namun tidak bisa diapresiasi oleh masyarakat luas karena terganjal oleh jalur distribusi bioskop Indonesia yang ribet.

Antara Seni dan Komersialisme

Dewasa ini kritikus seni membagi sebuah karya seni menjadi dua kubu, yaitu seni tinggi (high art)-materi artistic yang membutuhkan selera tinggi dan cerdas untuk mengapresiasinya, dan seni rendah (low art)-sesuatu yang tidak butuh kecanggihan untuk menikmatinya. Beberapa orang kemudian menggunakan kata kitsch, dari bahasa Jerman yang berarti “mengkilat” atau rongsokkan” untuk menyebut seni rendah tadi. Sebagai sebuah karya yang tersusun dari rangkaian gambar, cerita, dialog, dan musik pendukung, film adalah sebuah karya seni yang kompleks. Sebagai sebuah karya seni pula, sebuah film bisa dikategorikan apakah itu high art atau hanya sebuah kitsch.

Apabila kategori ini diterapkan dalam perfilman kita, dengan melihat kenyataan yang ada di lapangan, sudah pasti mayoritas film kita masuk pada kategori low art. Banayk sineas kita yang ahli dalam membuat film dengan menampilkan gambar-gambar yang memukau, namun dari segi cerita terasa kurang bahkan datar-datar saja. Tema yang diusung pun hanya seputar cinta remaja yang dikemas ala kadarnya, sehingga tidak membutuhkan intelektual yang tinggi dalam menonton. Sediakan saja waktu luang, sekantung pop corn, tonton filmnya lalu lupakan. Di sisi lain, banyaknya film yang mengeksploitasi kisah horror dan menyerempet seks, film tersebut sudah jelas masuk dalam kategori kitsch dalam arti yang sebenarnya (baca: rongsokan). Perspektif seni apa yang dipakai untuk menilai adegan seks dan cerita hantu konyol, sementara judulnya pun tidak lepas dari kata-kata Ranjang, Perawan, Brondong, Kuntilanak, Pocong?

Memang dengan situasi yang ada saat ini, industri film lebih memilih memproduksi film laiknya sinetron kejar tayang. Cerita yang datar, mudah dibuat, dan laku di pasaran. Namun, bukan berarti sebuah film high art pun harus mengorbankan komersialisme. Bagi saya sebuah film high art tidak melulu tentang film festival yang sulit dipahami ceritanya, tetapi lebih kepada adanya pesan yang jelas dan mampu mendidik masyarakat melalui cerita yang bagus. Laskar Pelangi dan AADC adalah contoh bahwa sebuah karya seni tinggi tak harus bertentangan dengan komersialisme. Laskar Pelangi memberikan inspirasi kepada kita bahwa hidup itu patut diperjuangkan sesulit apapun. Di sisi lain, film tersebut juga menyadarkan kita bahwa bahasa daerah pun patut kita kembangkan sebagai salah satu elemen penting dalam film, sejajar dengan Bahasa Indonesia dan bahasa loe-gue. AADC mampu meremajakan kembali film bertema anak muda dengan cerita yang mendalam, dan dalam waktu yang sama membangkitkan kegairahan kita akan sastra (setidaknya membaca buku Aku-nya Chairil Anwar).

Sudah saatnya sineas Indonesia mengembangkan kreatifitasnya dan tidak terjebak pada tema-tema tipikal untuk filmnya. Masih banyak tema lain yang perlu digali dan laku di pasaran. Memang untuk membuat sebuah tema yang belum familiar, diperlukan keberanian dan modal yang tidak sedikit. Di sinilah peran produser film untuk memberi dukungan modal dan bersinergi dengan kreatifitas para sineas. Dengan demikian lahirlah sebuah film yang tidak hanya bermutu tinggi, namun juga tidak hilang nilai komersialnya (paling tidak bisa didistribusikan di jaringan bioskop Indonesia sehingga bisa ditonton banyak orang). Saya ingat di penghujung tahun 1990-an, ketika industri film kita mati suri, empat sineas muda Indonesia bergabung membuat satu film yang bersisikan empat cerita. Keempat cerita dalam film itu tidak berhubungan sama sekali, dan sedikit membingungkan karena konsep seperti itu memang belum umum di perfilman kita. Film tersebut berjudul Kuldesak (yang artinya jalan buntu dalam bahasa Perancis). Tidak bagus-bagus amat memang, dan tidak ditonton banyak orang. Namun di sana ada semangat untuk menghidupkan kembali perfilman Indonesia dengan segala keterbatasannya. Kita juga berharap film Indonesia juga tidak berakhir dalam kuldesak atau jalan buntu untuk mengembangkan diri.

(Jogja 14 Mei 2010)

Sabtu, 15 Januari 2011

VIA DOLOROSSA

Melihat langit malam itu, serasa melihat kunang-kunang di Manhattan. Seribu warna-warni memecah riuh di atasa sana, di tengah langit yang masih diselimuti biru sehabis hujan. Bunyi meretak, lalu disertai gemuruh suara manusia nan riuh rendah. Terompet ditiup kuat-kuat, seakan hingga penghabisan nafas yang terakhir.
Setahun berlalu, setahun pula terasa begitu cepat. Yang lalu kuhabiskan ujung tahun dengan segelas bir di genggaman tangan, tahun ini kuhabiskan dengan seliter box susu sapi hahahaha…! Tapi satu perasaan yang sama, esok pagi aku bangun dengan perasaan dikejar-kejar oleh arus kehidupan dan raungan nafsi-nafsi manusia.
Dalam waktu yang singkat itu, yang indah namun menyimpan kesedihan, yang terang namun terasa temaram, di dalam keramaian yang sepi terenyuh, aku bagaikan sampai pada titik nadir. Kuangkat minumanku tinggi-tinggi, berhenti sejenak, lalu: "Selamat Tahun Baru!!." Bersorak hingga penghabisan.
Jalanan kutatap kosong, semilir angin malam yang berlalu lembut. Dosa masa lalu yang tak ingin kulihat lagi, doa yang terus terucapkan dari sang bibir untuk esok hari, dan langkah kaki yang semakin berat namun tetap menopang kuat dari hati yang terus bergita cinta. Aku pergi, selamat tinggal semuanya, semoga bisa kusongsong karmaku yang baru….oh Tuhan, dan akhirnya kuucap bismi……bismi……bismi….(dan setitik embun mengalir dari kelopak mataku kawan).

(new year eve 2008)

Kamis, 13 Januari 2011

GONDOLAYU 2007

Kurebahkan diriku di bangku panjang warnet, rehat sejenak sambil mata memejam. Seminggu hujan sudah, deras dan lama. Ada hawa dingin yang membius dalam kesepian, air yang menari di bumi menyapu debu-debu dan meredam deru knalpot. Masih aku berusaha mengurangi letihku, meski sejenak. Tapi tak pernah cukup kiranya tuk mendapatkan perasaan nyaman dalam rehat.
Kulihat keluar, parade masih berjalan. Warna-warni kendaraan dan bermacam bentuk manusia silih berganti. Ada yang tergesa seakan hidupnya esok tiada lagi, ada yang berjalan pelan tapi juga terlihat tak menikmati hidup ini. Hanya di sana, di sebuah angkringan remang-remang, suasana terasa begitu akrab dan syahdu.
Masih kupejam mataku, lalu segera aku bangkit dan mengetik. Jemari menari-nari di keyboard. Tik…tik….tak..tik…tak…tak….tak…. Hebat!!! Pekikku dalam hati. Serasa ruh Mozart merasuk dalam diri, dan mengetik pun bagai memainkan sebuah simfoni. Ini panggungku, dalam sebuah bilik 1×1 meter persegi. Sempit memang, tapi terasa lega untuk bernafas, daripada di luar sana……
Kubuka beberapa comment dan message di friendsterku. Hummm…..rata-rata membuatku tersenyum simpul. Dari tawaran pertemanan hingga masuk Panti Jomblo. Hahaha….separah itukah aku? Enam..atau…delapan bulan menjomblo. Yap..yap….sepi….dan kunikmati adanya. Stidaknya untuk saat ini, karena aku terlalu sibuk dengan hidupku. Tak berdaya membagi sedikit waktu untuk seseorang (ah gombalnya!!!!).
Kemudian akau beranjak dari dudukku. Membayar di kasir, dan dengan segera pergi dengan motor yang menderu (dipaksa haha). Lampu kota sepertinya teronggok bisu di tengah gerimis, nyalanya tak mampu membuat meriah suasana jalan malam ini yang bernafas pelan. Sudah tak ada parade kehidupan, pertunjukkan hidup menutup panggungnya satu persatu.
Kuberhenti di depan sebuah gang sempit, dekat Kalicode. Pelan aku memasukinya. Gang ini seperti portal dua dunia, antara kehidupan yang hingar bingar di seberang jalan sana dengan perumahan kumuh di depan mataku. Lalu lalang mobil-mobil dan tubuh semampai warna-warni dengan nyamuk yang bersliweran serta tubuh-tubuh lusuh nan terseok dalam hidup. Gang ini menurun, belok kanan, kiri sedikit, dan sampailah aku di rumah singgah. Rumah Singgah, tempat anak jalanan melupakan sejenak hidupnya yang berat. Tapi aku juga anak jalanan, kamu, kita semua. Anak jalanan kehidupan, yang setiap harinya mengamen di persimpangan jalan pikiran manusia.
Aku duduk di dekat kali, pada sebuah batu kecil yang bisu. Tak ada suara katak bercengkerama, meski di tengah gerimis. hanya ada suara air, dan gemerisik daun-daun dihuyung angin. Di atas sana, ada jembatan Gondolayu dengan lampunya yang terasa meriah terlihat dari bawah sini yang redup. Cahaya lampu berpendar keemasan, bak mentari surgawi di ufuk timur. Air, daun, sang bayu, lampu keemasan, dan aku. Kupejamkan mataku, dan kurebahkan tubuhku, terlelap hingga esok pagi.

(Jogja, 20 April 2007)

Minggu, 09 Januari 2011

SINTESA

Sapere aude…sapere aude Bodoh di tengah lautan buku
Pewahyuan datang di tengah tumpukan sampah
Kafir di tengah-tengah hingar bingar adzan
Jihad dalam balutan arak dan rum
Kulihat pemuka agama bersayap iblis
tapi malaikat turun bersama liukan penari striptease
Buat apa berkontradiksi dan bermahzab?
Jika berbeda diri ini tak mampu
Dan benturan ide menjadi desingan peluru
Aku berdzina dalam dzikir dan dzikir dalam zina
Semuanya sama khusyuk dan Tuhan sungguh menyaksikan
Sapere aude…sapere aude
Ich bin fertig…..
Bounjour………..
Hidup ini dahsyat!!!

Sabtu, 08 Januari 2011

MOI INSULINDE

Berdirilah
Di tempat kita memijakkan kaki
Maka kau rasakan bulir-bulir pasir membalutmu
Dan sang bayu meraba tubuhmu

Rasakanlah harumnya bau tanah ini
Yang bercampur dengan guguran dedaunan
Berwarna kuning dan coklat
Sebagai lambang akhir dari hidup kita

Saat matahari senja pancarkan sinarnya
Hangat keemasan merambati tubuh ini
Maka kau rasakan kedamaian dalam jiwa

Saat debu membawa pesan sang Pencipta
Diiringi tarian bidadari kecil berwarna-warni
Pijakkanlah kakimu lebih kokoh
Dapatkah kau rasakan alam bertutur padamu?
Tentang kisah cinta abadi antara sang langit dengan sang bumi

Kau bisa melihat ribuan gadis terbang
Tebarkan wewangian syurga
Dan rasakanlah kesegaran air berkilau intan
Untuk membasuh raga-raga yang sepi

Di tempat kita berpijak ini
Dimana suatu saat  sayap tumbuh dan terbangkan dirimu
Dengan awan sebagai alas
Agar kau tahu betapa elok cahaya zambrut
Yang sinarnya jatuh lalu melompat-lompat
Menari-nari kecil di depan matamu

Ketika kau turun menapakkan kakimu kembali
Di sana kau melihat ia menunggumu
Bercahaya dipayungi sinar mentari
Dengan senyuman teduh
Maka berdansalah dengannya
Bersama seribu malaikat memainkan musik
Di tengah bung-bunga yang melambai
Bersama tatapan cinta sang purnama
Dan alam sungguh menyaksikan….

Catatan Seorang Kuli Tinta

Manusia menulis untuk menyampaikan isi hatinya. Ketika kata-kata terbatas untuk diucapkan dan bibit pengertian tidaklah bersemi dan tumbuh.
Seseorang menulis apa yang ada di pikirannya, yang terpendam dalam pasir misteri. Hingga pada suatu batas yang dicapai dan perasaan dalam hati tak mampu dibendung lagi, maka menulislah. Di saat kau sendiri, ketika tiada teman ataupun seseorang untuk kau bagi ceritamu, hanya tembok-tembok masif nan bersawang dan lantai yang dingin, tumpukan buku-buku berdebu menyesakkan dada.
Menulis, ketika sesuatu tak bisa terucap sempurna dari bibirmu. Ketika waktu tak sejalan dengan idealismemu, dan ketika orang lain menganggap remeh dirimu lalu kau merasa terasing dan sepi di keramaian.
Menuliskan apa yang kau pikirkan, sekedar mengingatkanmu bahwa kaupun perlu melihat kembali masa lalumu, catatan usang di kertas takdir yang belum tuntas dan hampir terlupa. Atau sebagai penghiburmu, seperti komik; cerpen; novel; ataupun kisah-kisah roman picisan dan komedi satire hidup kita.
Aku menulis karena darahku adalah darah penulis. Dimana kutemukan petualangan dan pacu adrenalin di situ. suatu ketika nadiku hampir putus dan hidup terasa hambar, tulisanku menyambungnya dan memberi rasa kembali.
Meskipun tak setiap hari aku menulis, tapi tetap kurasakan "itu" adadan tak pernah hilang. Dari tinta yang terus mengalir, ujung pena yang terus menggores, dan hati serta pikiran yang tak pernah terlelap……

Kamis, 06 Januari 2011

INSOMNIA

Malam yang mendung…
Udara dingin, tapi masih berdetik tuts-tuts kibor di sebelah kamar
Tak ada kopi, tak jua sebatang rokok berkuncup merah merekah di ujung nan berasap
Tak ada nafas yang dihembus hingga penghabisan
Mata masih berbinar dan bola mata hitam masih berjingkat-jingkat
Sinar lampu jatuh di lekukan gitar…
Ahhhh, siluet Ken Dedes di pojok kamar terbentuk sempurna!
Kamar gerah, tapi terasa berkabut di langit-langit
Tubuh berbalut tipisnya kulit meringkuk di atas gumpalan kapuk
Menahan dingin kehidupan yang menjalar cepat, dan jemari mencengkeram bumi
Tak perlu pusing kawan, tak perlu takut
Risau di tengah sepi adalah keniscayaan dalam hidup
Dan rasa sepi di tengah kermaian dan klakson-klakson adalah kewajaran
Kadang kita perlu menari riang di saat gramafon tua memainkan cakramnya
Aku mau tidur, sudah malam
Tak perlu jua diriku menyelami belantara pikiran kiranya
Cukup menutup tirai di muka ini lalu rebah di atas ibu pertiwi
Rasa nyaman yang merayapi tubuh ini sejatinya adalah hal yang filosofis
Olah rasa dalam kematian rasa, olah batin dalam nafas yang berdzikir
Hingga esok waktunya, ketika kecoak mencongklang kakinya di atas wadag
Dan sukma membisu di bawah tarian rembulan
Pandangi batu nisan yang kukuh dan kesepian

CATATAN HARIAN MAHASISWA

Ehem...sebenrnya ini tulisan udah lama banget. Dari blog waktu masih menjadi mahasiswa yang udah lama gak jelas nasibnya. Maklum, soalnya ngikut Friendster. Begitu jejaring sosial yang satu ini udah kolaps, blognya pun ikut saya tinggalkan. Sekedar untuk refleksi, terutama yang pernah, mau, atau mikir kuliah HI.

Akhir-akhir Jogja sering hujan, deras banget. Banjir di sana-sini, meski dalam hitungan sepersekian menit langsung surut. Yahh…lumayan juga mengusir hawa gerah dan debu yang melekat di tubuh. Air langit sejenak meniadakan kesumpekan kota, deru parade knalpot dan klakson yang ngak-ngik-ngok, serta hingar bingar urban lifestyle yang galau.
Seperti sore ini, ketika langit tak lagi memaki warna jingga untuk peraduan matahari, tetapi lebih suka selendang biru abu dan sedikit kabut ipis. Aku duduk di kedai kopi, menatap langit dari balik jendela yang basah oleh titik hujan, sama seksinya seperti peluh perawan desa.  MAsih aku genggam segelas kopi hangat, asapnya masih menari-nari, dan baunya harum seperti candu. Ballpoint masih kumainkan di tarian jemari, sambil sesekali mata melirik rentetan daftar mata kuliah. Ah…memang hidup serba berencana, tak ada yang serta merta. Big bang pun ditulis Sang Kuasa sejak zaman azali.
Baru melihat daftar mata kuliah saja, perasaanku seperti sudah kuliah sekian hari. Memilih mata kuliah saja otakku harus berkalkulasi, melakukan serentetan impuls logika, dan keputusan seperti sebuah tesis. Anjirrrrr!!!!! Liyer euy!!! Kenapa main-main imajinasi segala, pikirku? Apa memang kuliah di HI itu cuma imajinasi ya? Gak ada konkretnya? HI=Hanya Imajinasi, ehehehehe………..nice!!
Dulu aku memang setuju jika kuliah HI itu Hanya Imajinasi belaka. Berdebat dengan berbeda mahzab tanpa ujung yang jelas, dan yang diperdebatkan pun bukanlah hal real yang dihadapi. Kuliah seperti sebuah drama satu babak, semuanya hanya dibayangkan, tanpa pernah melihat dan menyentuh materi yang dipelajari. Ehh…materi? Imajinasi itu kan abstrak, materi itu konkret bung!! Filsafat ilmu berkata bahwa cara mendapatkan ilmu pengetahuan adalah dengan membayangkan, dan ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang fana. Nah….jadi sudah paslah kiranya kalo HI itu dapat embel-embel ilmu. dengan kuliah di HI berarti aku sudah jadi intelek ya??Ssssssszzzzzzzuuuukkkkkkzzzzzzsssssseeeesssszzzzzzzz!!!!!
Tapi belakangan pendirian ini agak goyah juga. Melihat perkembangan yang ada di HI akhir2 ini. Tapi kan wajar aja kalau pendirianku goyah, bukankah manusia itu selalu berdialektika dengan masanya juga kehidupannya? Apakah HI=Hanya Imajinasi? Apakah hanya sesederhana itu? Atau aku yang terlalu mengkomplekskan sesuatu?Atau……………
Aih! Jika HI itu Hanya Imajinasi belaka, bukankah kuliah di HI sangat mudah. tinggal modal angan-angan, imajinasi men!! Ngelamun pun bisa menghasilkan sesuatu yang ilmiah. Gak perlu di ruang kuliah, atau berkeringat dingin di ruang sidang skripsi, nongkrong sambil ngelamun di WC umum terminal pun kita bisa belajar HI. Bukunya juga variatif, sesuai imajinasi kita. Dari Oliver Twist sampai The Clash of Civilization. Dari majalah Kuncung sampai jurnal HI. Semua bisa dijadikan referensi, shahih!!
Tapi kenyataannya, memang gak sesimpel itu. Kebanyakan orang sudah terlanjur beranggapan bahwa yang ilmiah adalah segala sesuatu yang menggunakan kata-kata berat, penuh istilah ilmiah, plus segala pertentangan mahzab yang gak ada bedanya dengan klimaks sebuah novel. Apa yang kekanakan, lucu, tak berbau kalimat ilmiah, adalah sesuatu yang buang-buang waktu dan sampah. Novel, majalah anak-anak, dan semua cetakan yang dengan senang hati kita bawa lalu dibaca dengan riang, rasanya hanya jadi eskapisme belaka dari dunia politik yang semakin absurd.
HI=Hanya Imajinasi? Apa memang demikian? Masihkah seperti itu, pikirku? Atau ini hanya sebuah lelucon basi saja? Jika HI memang Hanya Imajinasi, kenapa banyak nilai yang jeblok di ujian semester? Kenapa kita selalu berwajah tegang setiap kali menghadapi kertas ujian, dan tak tahu harus menulis apa. Kertas yang kosong seperti cerminan kekosongan mata, otak, bahkan batin kita. Jika HI Hanya Imajinasi, kenapa masih ada dari kita yang dengan susah payah mencontek pekerjaan temanya? Parahnya, yang mencontek pun tidak sadar bahwa mencontek pun butuh imajinasi, tidak hanya sekedar menyalin sama persis kalimat-kalimat dan titik-komanya. Benarkah HI Hanya Imajinasi? Padahal untuk menjawab soal ujian ngawur pun bisa dapat nilai yang bagus ( sumpriiittttt…..!!!!!)
Aku tidak membela orang-orang yang mencontek. Karena pada dasarnya mencontek adalah pekerjaan orang-orang malas, dan orang malas layak dibuang ke tong sampah! Itu di satu sisi, di sisi lain aku menganggap mencontek adalah sebuah seni. Seni bagaimana kita menyalin sesuatu milik orang lain, tanpa diketahui. Untuk tidak diketahui membutuhkan serangkaian proses yang kompleks. So, mencontek juga bukan pekerjaan kasar kuli panggul, tapi juga membutuhkan berfikir dan merancang strategi. Tapi ya, gobloknya orang-orang yang ketahuan mencontek kahir-akhir ini di lingkungan kuliahanku. Mencontek saja gak bisa, ketahuan, bener-bener guoblok pisannn……

(ditulis 19 Februari 2007)

CORAT CORET MAHASISWA DI WARUNG BURJO

Apa kabar dosenku…..? Yang sedang duduk di belakang meja dengan segelas kopi di pagi hari, nikmaaatttttt…..!!!! Mencorat-coret di tumpukkan kertas, tawa-tiwi dengan segenggam hape. Ahhhhh…indahnya pemandangan itu bagi kami.
Di balik blazer, kemeja yang rapi, dan laptop mulus yang kau pakai, ada ribuan kegelisahan muridmu lho. Yang setiap hari lupa sarapan (yahh…mungkin gak pernah ada duit) berlari-lari di belantara hutan beton dan parade knalpot di setiap paginya. Bukan matahari cerah yang kami khidmati, tak lagi kami rasakan sejuknya cuaca subuh. Semua hanya ketergesaan hidup manusia yang nyalang diterpa materi.
Pernahkah kau merasakan itu, dosen? Aku yakin pernah, karena kau pun dulu seperti kami. Lembur setiap hari dengan membunuh rasa kantuk demi tujuh hingga sepuluh lembar kertas paper, dan esok masih harus berjingkat menghadapi sekumpulan kalimat ilmiah. Ahhh…kuralat pertanyaanku saja. Bukan pernah, tetapi masihkah kau mampu merasakan itu? Bahkan di tengah happy hour internet, hape yang ditenteng setiap hari, komputer yang murah, dan wi-fi gratis, beban kami pun makin berat. Alamak jang, kurikulum makin sadis! Resah pun tiada berkurang jua.
Apa yang aku dapatkan dari setiap tutur katamu? Selain hanya siaran Dunia Dalam Berita. Tanpa masuk kuliah pun aku masih bisa eksis, dan dengan bangganya aku mengakui bahwa diriku cum laude!!! Masih ada bisik-bisik di telingaku setiap harinya, di tengah deru mesin dan klakson: " Kuliah kita cukup bermodal satu ekskemplar koran KOMPAS setiap harinya untuk bisa mencapai nilai cum laude." Apa iya memang begitu sikonnya? Kalau betul? Duit kami buat apa dong?
Di balik teori yang samar-samar itu, apa yang hendak aku sampaikan pada kami. Pentingkah? Atau hanya untuk sekedar formalitas mengisi sela waktu kosongmu? Karena pada dasarnya yang kau ucapkan jua hanya salinan tumpukan buku-buku perpus. Lima belas menit aku berdiskusi di perpus, sama ampuhnya dengan sembilan puluh menit pertemuan kita.
Kubaca ini dan itu, kutulis ini dan itu, lalu kuucapkan ini dan itu. Tapi semuanya seperti tumpukkan jerami di kandang kuda. Hari ini kutumpuk, esok kutumpuk lagi dengan jerami yang baru. Gak ada substansinya, itu bahasa kerennya kan?! Aku membaca buku seakan candu. Tapi yang sering ada sih, fotokopi buku doang nih, biar hati ayem. Perkara itu buku dibaca atau nggak, urusan belakang. yang penting IP naik teruuuuuusssssssssssssss……..kayak tarif listrik, air dan BBM hehehehe!!!
Kulihat senyum teman-temanku, dosen. Ketika mata mereka berbinar melihat serentetan nilai "A" di secarik kertas tipis (dengan huruf ketikan yang jadul punya). Tawa yang renyah ketika tubuh ini dibalut toga, plus menggenggam secarik kertas (lagi). Tapi sehabis itu…???? Tetap saja ada resah tersembunyi di balik mata yang berbinar dan tawa renyah itu. Esok badan ini harus bertempur lagi. Tak peduli peluh mengucur, dan kelopak mata sudah sehitam oli serta sorot yang redup. Ada jiwa yang meringkuk pasrah di lantai, dirayapi hawa dingin yang menusuk, sekian bulan, sebelum di balut toga. Dalam sepersekian detik  perasaan kalut itu hilang, dan rasa sakit berganti rasa bahagia. Tapi dalam sepersekian detik itu pula, tubuh ini terasa dicabik-cabik oleh kenyataan hidup.
Apa kabar dosen, semoga kau tak lupakan kami, muridmu. Yang datang di tempatmu dengan segenggam mimpi, ketika dulu pertama kali. Kami bukan uji coba materi penelitianmu, dan setiap dari kami memiliki impian dan keunikan masing-masing. Tuhan memang tidak pernah menciptakan manusia sama secara identik. Tapi kami, sekumpulan anak manusia yang kau ajar setiap harinya, punya keresahan yang sama tentang hidup, dan harapan yang sama tentang hidup. Kelak esok setelah kami lulus dan tubuh berbalut toga, semoga hari itu langit bersinar cerah, dan esoknya jua.

Geneology Melancholia

kemana kita akan pulang?
ketika jiwa mulai lelah didera sejuta topan kehidupan…
ketika tertawa kita tak mampu..terlalu capai badan ini untuk bergoyang bebas di bawah guyuran hujan
kaki-kaki berlumpur terseok-seok di tanah berdaun coklat…warna penghabisan takdir

ketika mata mulai memincing dalam tatapan sang surya jingga berjubah kelabu
ketika kulit mulai keriput…..rambut memutih dimana kebijaksanaan harus ditampilkan..
hembusan halus dari aliran kesabaran kita….ketika semua seakan mulai pergi meninggalkan kita

kemana kita akan pulang?
kemana aku akan pulang?
ketika aku mulai tersesat….di rimba gelap dunia
ketika aku terpaku sendiri di padang pasir luas rasa sepi

mampukah aku pulang?
membuka pintu hatimu untuk menerimaku….
memapah tubuh nyaris terkapar berpeluh dosa ini
lalu membasuhnya dengan air suci kasihmu….
masih maukah kau menatapku dengan binar bola mata hitammu?
membaca dongeng-dongeng …..menyeduh air teh surgawi

masih maukah kau?
ketika aku sudah begitu rapuh…ketika aku hanya bisa tertunduk tak lagi gagah seperti dulu
langkah-langkah kecil di jalan setapak padamu…
hanya ingin tiba sebentar sedikit bincang dan tawa…
dan bisik terakhir di telingaku….halus bagai sang bayu..
akan kulihat ketika aku terbang ke langit ketujuh….
di jendela rumah bertemaram lilin kecil…kau hantar kepergianku dari kepulangan pada belah hidupku