Rabu, 02 Juli 2014

In Utero

Tak seorang pun menyerupai sekeping pulau, tiada orang yang sepenuhnya sendirian; tiap orang adalah sekeping tanah dari sebuah benua, sebagian dari yang keseluruhan. Jika sepotong semenanjung ditenggelamkan air, Eropa akan mengecil, demikian pula dengan puncak gunung atau rumah karibmu atau dirimu sendiri; kematian tiap orang mengurangi makna diriku…. - John Donne

Siang itu, saya bangun dengan kepala serasa dihantam godam setelah begadang semalaman. Malas-malasan meraih hape yang berdenting entah sudah berapa kali, samar-samar saya melihat sebaris kalimat di layar : Adit meninggal, Bhe!

Terlalu banyak orang bernama Adit yang saya temui, sehingga saya pun tak langsung ngeh bahwa yang dimaksud adalah Adit Pengajar Muda.
Sepersekian detik sebaris kalimat muncul kembali di layar: Adit yang waktu itu ikut teleconference, Bhe. Mata saya langsung nanar di hadapan layar.

Pertemuan dengan Adit teramat singkat. Bermula ketika saya diminta membantu teleconference untuk acara FGIM. Beberapa PM di penempatan mendaftar untuk berbicara dengan para peserta FGIM di Jakarta.
Di luar dugaan, dari Tanimbar nama Adit muncul. Perkiraan saya waktu itu yang akan ikut teleconference adalah temannya yang berada di daerah lebih mudah sinyal.
Selama persiapan teleconference, saya dan Adit hanya bisa berkomunikasi lewat SMS. Tes koneksi Skype bahkan baru bisa dilakukan sehari sebelum FGIM berlangsung.
Ketika FGIM berlangsung, teleconference dengan Adit tak bisa dilaksanakan karena kendala teknis. Saya kecewa, dan mungkin terlebih lagi Adit. Apalagi ia telah membawa murid dan salah seorang guru untuk ikut jadi narasumber. Tetapi ketika saya tanya lewat SMS, dengan santai dia menjawab: "Tidak apa-apa Mas. Saya paham. Sudah biasa di sini susah dihubungi karena sinyalnya susah kalau mendung."
Dia paham teleconference punya resiko gagal yang besar, namun dia tetap mempersiapkan segala sesuatunya.

Dua hal yang saya pelajari dari Adit:
Di tengah situasi kondisi serba minim, orang bisa menjadi sangat pesimis atau melankolis. Tetapi Adit memilih menghadapinya dengan optimis dan tenang.
Di tengah situasi negara yang seperti ini, orang bisa menjadi apatis atau ikut arus. Tetapi Adit memilih menjadi oang merdeka. Mengejar idealismenya mengajar hingga pelosok nusantara.

Saya tahu, menjadi PM adalah usaha mengenal Indonesia dengan berjalan lebih jauh dan menyelam lebih dalam. Namun sebaris kata siang itu menjadi penanda bahwa Adit telah jauh melangkah bukan hanya menapaki Indonesia, namun hingga ke nirwana.

Gie bilang mati muda adalah sebuah keberuntungan. Tetapi Gie salah. Yang beruntung adalah mati ketika memperjuangkan idealisme dan berani menyasar tempat yang tak pernah kita ketahui.

Saya angkat topi untuk Adit. Sebagai PM, sebagai orang Indonesia, sebagai pemberani. Dan saya tak akan menangis, tetapi bertepuk tangan…merayakan bahwa Adit pernah hidup dan berjuang bersama.

Tabik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar