Selasa, 24 Agustus 2010

Atas Nama Sejarah

Dahulu Bung Karno pernah berkata "Jas Merah" yang merupakan singkatan dari "Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah". Entah karena sosok Bung Karno yag sangat kharismatik atau karena kepiawaiannya menyingkat-nyingkat kalimat menjadi kata-kata yang menarik sehingga mudah diingat, namun Jas Merah memang tak pernah lekang dimakan zaman.

Sejarah memang bukan sekedar cerita masa lalu yang diwariskan turun temurun. Ada sesuatu yang nyata terjadi, holistik, dan bisa dipertanggungjawabkan. Sejarah juga menjadi penanda dan juga pertanda bagaimana kehidupan kita di masa depan. Sejarah seringkali dijadikan acuan/ pembanding atas apa saja yang sudah dicapai.

Jangan Melupakan Sejarah, menjadi wejangan Bung Karno bahwa kita harus belajar dari masa lalu. Kesalahan di masa lalu janganlah diulang di masa datang. Apa yang sudah baik, hendaknya semakin ditingkatkan di masa depan. Di sini, anjuran Bung Karno untuk menoleh ke belakang (masa lalu) menjadi antitesis dari kata-kata "yang lalu biarlah berlalu". Masa lalau tidaklah bisa dibuang begitu saja, karena padanya melekat proses kehidupan kita. "Yang lalu biarlah berlalu" seakan wujud penyesalan diri dari segala kesalahan dan hal-hal yang tak sempat dilakukan. Sementara Jas Merah mengizinkan untuk menyesali kesalahan, namun juga terus maju menatap ke depan. Kehidupan dan masa lau bukanlah sesuatu yang harus disesali, tapi merupakan sebuah situs dan ritus yang harus kita resapi dan rayakan.

Bagi saya, sejarah sendiri bukanlah tumpukan manuskrip berdebu yang teronggok di pojok lemari tua. Ketika masih duduk di bangku sekolah, terutama ketika remaja sejarah seakan menjadi cerita yang semenarik Oliver Twist di tengah kepenatan pada angka-angka ilmu pasti. Sementara ilmu pasti menjadi pembunuh nomor satu birahi masa remaja saya yang meledak-ledak.

Menjelang kelulusan SMA, ketika bersentuhan dengan bacaan revolusioner yang kritis semakin intens, dan diskusi antara "kiri" dan "kanan" menjadi hal yang lumrah, saya tahu sejarah memang hanya sebuah dongeng yang disokong legalitas hukum (baca: penguasa)
Sejarah adalah cerita yang ditulis oleh pihak pemenang, orde yang berkuasa berhak menentukan peristiwa sejarah mana yang layak dan tidak layak diketahui oleh umum. Sejarah Indonesia, Sejarah Perang Dingin, dan bahkan Perang Salib. Tiap pihak memiliki versinya tersendiri sesuai kepentingan politiknya masing-masing.

Dari sini, Jas Merah tidak hanya menjadi anjuran untuk mengingat sejarah, tetapi juga menganjurkan untuk selalu waspada dan teliti akan sejarah itu sendiri. Selalau waspada, bahwa bisa saja ada yang cacat dalam cerita tentang kejayaan di medan laga atau kemajuan pada suatu masa. Dan kecacatan di masa lalu itupun juga harus diwaspadai masih menghantui kita pada masa ini.

Barang siapa hanya mengingat sejarah, niscaya dirinya hanya aka terperangkap dalam lamunan dongeng masa lalu. Dan apa yang dilakukannya saat ini, meskipun bertujuan masa depan, sejatinya tidak menuju kemanapun karena berdasarkan pada sesuatu yang absurd.

Bung Karno, karena ingatannya yang kuat akan sejarah dan bangganya akan kejayaan Nusantara di masa lalu pun akhirnya harus berkahir. Kebanggan yang berlebihan akan kejayaan masa lalu (Majapahit, Srwijaya, Nusantara, dll) membawa Bung Karno pada kebijakan yang terkesan "angkuh" dan ekspansionis. bagi beberapa pihak saat itu, mungkin kebijakkannya yang kelewat "yoi" bak langkah Adolf Hitler yang terperangkaap sejarah masa lalu Holy Roman Empire.

Di satu sisi, saya memang setuju tentang nasionalisme akan Indonesia, namun bukan dalam wujud yang kelewat bangga seperti Bung Karno. Bagaimanapun, kejayaan Majapahit, Srwijaya , dan Nusantar di masa lalu selain "gemah ripah loh jinawi" juga dipenuhi pergantian kekuasaan karena balas dendam tak berkesudahan (tumpas kelor) dan perang. Inilah ironi kehidupan yang selalu memerangkap manusia dengan mudahnya, bahkan Bung Karno. Ia naik karena kebanggaan sejarah, dan turunpun karena rasa bangganya tersebut.

Hari ini, di tengah berita tentang carut-marutnya kehidupan berbangsa, sejarah seakan terus berulang dalam kehidupan. Apa yang terjadi pada bangsa kita hari ini, adalah wujud kecintaan kita pada sejarah sekaligus karena kita lupa pada sejarah itu sendiri. Kecintaan pada sejarah dalam wujud yang negatif: kita masih mempraktikan politik tumpas kelor, feodalisme dan sistem dinasti yang menyengsarakan rakyat, dan konflik antar golongan yang diwarisi dari masa lalu. Karena cinta sejarah dalam bentuk negatif pula, kita lupa bahwa para leluhur pun mewariskan kebajikan. Sosialisme dalam gotong royong, hidup selaras dengan alam, teknologi tepat guna namun sederhana, dan bersyukur kepada Yang Kuasa. Alhasil, kita lupa identitas kita sesungguhnya.

Sejarah memang bak dua mata uang. Cerita kejayaan yang gigantik mampu membius kita, membangkitkan semangat hidup sekaligus membunuh kita pelan-pelan. Sementara warisan kebajikan para leluhur adalah sisi sebaliknya. bukan hanya wejangan hidup, namun juga peringatan bahwa segala kesalahan di masa lalu itu tak patut dicontoh bahkan dilanjutkan di masa kini. Jas Merah sendiri menuntut kita untuk menghargai proses bukan hanya hasil. Telitilah proses dalam sebuah hasil, niscaya kita akan belajar banyak. Jangan silau pada kejayaan masa lalu, dan terperangkap di dalamnya.


Hidup Indonesia dan banggalah pada Nusantara, dan mari bangun sesuatu yang lebih baik lagi. Selagi masih jadi pemuda....

Kamis, 05 Agustus 2010

Diskusi

Dua anak manusia
duduk di atas semen hitam dipayungi kumpulan daun menjari
wajah-wajah lusuh berselaputkan debu diterpa kehidupan yang berkisah
Duduk saling berseberangan
Mata-mata cekung, kelopak hitam kopi, saling menatap penuh telisik
Berbicara dalam diam mereka, dan diam ketika kata-kata mengalir dari sang mulut
Bertukar pendapat dari hatiyang terus nyalang mengamati hidup, lalu saling menentang mereka dalam sekian menit
Dua otak yang berfikir, wujud yang sama, tapi berada dalam wadag yang berbeda
dua anak manusia
duduk dan berbicara bersama
Kesatuan dalam kontradiksi
Capuchino….