Jumat, 04 Juli 2014

Munajat Cinta di Jalanan Jakarta

Tahun Baru adalah sebuah repetisi, pengulangan ritual komunal namun sifatnya individual. Arak-arakan manusia dan parade knalpot, gegap gempita bunyi terompet dan nyala kembang api di langit yang membahana.

Namun dari semua itu, dalam arus manusia itu, semua kembali pada diri masing-masing. Setiap orang memiliki harapan masing-masing. Untuk itu kita menulis resolusi, melakukan introspeksi, sebuah munajat cinta akan kehidupan yang lebih baik.

Ini adalah tahun baru pertama saya di Jakarta. Jantung dari seluruh Indonesia. Kota ini seakan tak pernah tertidur, dan di pergantian tahun seakan semua penduduknya berdiam sejenak lalu menjadi ledakan-ledakan di berbagai penjuru di tengah malam.

Tak ada pesta yang saya ikuti, tak ada ritual apapun yang saya lakukan. Saya selalu enggan mengikuti sebuah repetisi. Namun di malam tahun baru, selepas semua arak-arakan berlalu saya menyusuri jalan-jalan Jakarta.

Saya menemukan sesuatu yang menarik di jalanan. Bukan warna-warni kembang api. Tapi Jakarta yang sedikit berkabut karena asap. Jalanan mulai sepi, parade telah bubar, kembang api sudah penghabisan. Asap kabut menjadi sisa pesta.

Buat saya, menyalakan kembang api ke langit bukanlah sebuah kesenangan belaka. Tak jua sesuatu yang sia sia. Itu adalah simbol dari mimpi-mimpi. Dibakar api semangat, meluncur ke langit, meretak dan pecah bagaikan ratna. Doa-doa yang ditunjukan ke langit dengan indah agar dipeluk Tuhan.

Sementara jalanan berkabut karena asap kembang api menjadi simbol bahwa sebagus apapun mimpi dan sebanyak apapun doa yang dipanjatkan, kita tetap menapaki kehidupan dengan samar-samar.

Malam tahun baru di Jakarta juga mengajarkan saya bahwa jalan adalah jejalan. Tempat di mana kita bisa melihat beragam aktivitas manusia. Setahu saya hanya Solat Ied yang jamaahnya bisa tumpah ruah menutupi jalan. Tetapi pengajian suatu jamaah di malam tahun baru pun ada.

Suara khotbah bersaing dengan letupan kembang api. Sementara jamaah mendengarkan beralaskan tikar atau koran diselimuti angin malam. Buat saya ini menarik, namun tak ganjil. Tahun baru, setiap orang punya ritualnya masing-masing dalam menyambutnya.

Saya pun pulang, sampai di kos yang sunyi sepi meruang. Dalam diam saya berfikir:
Mereka yang menghabiskan tahun baru hanya dengan berparade sama meruginya dengan mereka yang hanya tidur untuk mengambil jeda sebelum bertarung kembali dengan pekerjaan di tanggal 2 Januari.

Tabik

Jakarta, 31 Desember 2013

Rabu, 02 Juli 2014

In Utero

Tak seorang pun menyerupai sekeping pulau, tiada orang yang sepenuhnya sendirian; tiap orang adalah sekeping tanah dari sebuah benua, sebagian dari yang keseluruhan. Jika sepotong semenanjung ditenggelamkan air, Eropa akan mengecil, demikian pula dengan puncak gunung atau rumah karibmu atau dirimu sendiri; kematian tiap orang mengurangi makna diriku…. - John Donne

Siang itu, saya bangun dengan kepala serasa dihantam godam setelah begadang semalaman. Malas-malasan meraih hape yang berdenting entah sudah berapa kali, samar-samar saya melihat sebaris kalimat di layar : Adit meninggal, Bhe!

Terlalu banyak orang bernama Adit yang saya temui, sehingga saya pun tak langsung ngeh bahwa yang dimaksud adalah Adit Pengajar Muda.
Sepersekian detik sebaris kalimat muncul kembali di layar: Adit yang waktu itu ikut teleconference, Bhe. Mata saya langsung nanar di hadapan layar.

Pertemuan dengan Adit teramat singkat. Bermula ketika saya diminta membantu teleconference untuk acara FGIM. Beberapa PM di penempatan mendaftar untuk berbicara dengan para peserta FGIM di Jakarta.
Di luar dugaan, dari Tanimbar nama Adit muncul. Perkiraan saya waktu itu yang akan ikut teleconference adalah temannya yang berada di daerah lebih mudah sinyal.
Selama persiapan teleconference, saya dan Adit hanya bisa berkomunikasi lewat SMS. Tes koneksi Skype bahkan baru bisa dilakukan sehari sebelum FGIM berlangsung.
Ketika FGIM berlangsung, teleconference dengan Adit tak bisa dilaksanakan karena kendala teknis. Saya kecewa, dan mungkin terlebih lagi Adit. Apalagi ia telah membawa murid dan salah seorang guru untuk ikut jadi narasumber. Tetapi ketika saya tanya lewat SMS, dengan santai dia menjawab: "Tidak apa-apa Mas. Saya paham. Sudah biasa di sini susah dihubungi karena sinyalnya susah kalau mendung."
Dia paham teleconference punya resiko gagal yang besar, namun dia tetap mempersiapkan segala sesuatunya.

Dua hal yang saya pelajari dari Adit:
Di tengah situasi kondisi serba minim, orang bisa menjadi sangat pesimis atau melankolis. Tetapi Adit memilih menghadapinya dengan optimis dan tenang.
Di tengah situasi negara yang seperti ini, orang bisa menjadi apatis atau ikut arus. Tetapi Adit memilih menjadi oang merdeka. Mengejar idealismenya mengajar hingga pelosok nusantara.

Saya tahu, menjadi PM adalah usaha mengenal Indonesia dengan berjalan lebih jauh dan menyelam lebih dalam. Namun sebaris kata siang itu menjadi penanda bahwa Adit telah jauh melangkah bukan hanya menapaki Indonesia, namun hingga ke nirwana.

Gie bilang mati muda adalah sebuah keberuntungan. Tetapi Gie salah. Yang beruntung adalah mati ketika memperjuangkan idealisme dan berani menyasar tempat yang tak pernah kita ketahui.

Saya angkat topi untuk Adit. Sebagai PM, sebagai orang Indonesia, sebagai pemberani. Dan saya tak akan menangis, tetapi bertepuk tangan…merayakan bahwa Adit pernah hidup dan berjuang bersama.

Tabik

Kopi Fundamentalis




Rekam jejak sejarah kopi adalah sebuah perjalanan panjang. Ditemukan pertama oleh Bangsa Etiopia sekitar tahun 1000 SM, menjadi teman diskusi bagi para filsusf Perancis seperti Robespiere ketika Paris dilanda kemabukan yang amoral, hingga sekarang menjadi gaya hidup populer dari kedai kopi di hotel bintang lima hingga angkringan nasi kucing. 

Kata Kopi berasal dari bahasa Arab, qahwah yang berarti kekuatan. Sejarah mencatat awal mula kopi memang digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Di Turki kata qahwah kemudian mengalami perubahan menjadi kahveh. Oleh orang Belanda pelafalan kahveh berubah menjadi koffie dan dengan segera diadopsi oleh bahasa Indonesia menjadi kopi. 

Setiap biji kopi adalah unik, selain rekam jejak sejarah masing-masing, ada rasa yang berbeda satu sama lain. Kopi Toraja tak akan sama rasanya dengan kopi Wamena. Dan hanya orang-orang yang mencintai kopi yang mengetahui perbedaannya.

Mencintai kopi, apa pula maksudnya? Apakah seseorang harus menjadi barista untuk menjadi pecinta kopi? Nyatanya tidak. Banyak yang mengaku atau sering dilabeli pecinta kopi sebagian besar adalah mereka yang hanya bisa minum kopi. Sebagian memiliki preferensi akan suatu kopi tertentu dan menjadi minuman apa kopi tersebut. Sebagian lagi cukup puas dengan kopi sachet dan tak ambil pusing disajikan seperti apa. Tetapi kopi bukan sekedar minum dan selesai, kopi lebih dari itu. Alasan ini mendorong Pepeng untuk membuka kedai kopi bernama Klinik Kopi.

Di Jogja sendiri, kota gudeg yang masyarakatnya lebih identik sebagai penyuka rasa manis bermunculan banyak kedai kopi. Maklum, jumlah kampus dan mahasiswa semakin banyak. Ditambah situasi kota Jogja yang romantis di tiap sudutnya, ngopi pun menjadi hal yang wajib. Sebelum kedai kopi mulai marak, masyarakat Jogja sebenarnya sudah akrab dengan ngopi sambil ngobrol di tempat angkringan. Tetapi Klinik Kopi adalah salah satu contoh kedai kopi yang unik. 

Pepeng ngobrol dengan pengunjung untuk mengetahui kopi kesukaan mereka

Ketika orang datang untuk minum kopi di sini mereka tak hanya memesan kopi, minum, dan selesai. Sang barista Klinik Kopi, Pepeng, punya cara yang unik dalam menjamu pengunjung. Ibarat dokter, Pepeng bertanya apa yang dirasakan pasiennya. Lelaki dengan potongan cepak yang sekaligus juga pemilik kafe akan bertanya lebih dulu kopi seperti apa yang disukai sang penikmat. Di sini, seorang coffee addict sekalipun akan didorong untuk “membuka” dirinya untuk lebih memahami kopi kesukaannya. Apakah yang pahit total, sedikit rasa asam, atau pahit dan asam yang sebanding. 

Klinik Kopi sengaja tidak menyediakan menu. Bagi yang tak tahu kopi kesukaannya, prosesnya bisa trial and error. Tetapi di situlah seninya, sekali mendedah kopi bersama, merasakan pilihan dan membandingkan dengan pilihan lainnya, kita menjadi tahu karakter minuman kopi yang kita sukai. Filosofinya, memilih sesuatu tak boleh instan. Klinik Kopi juga tidak menyediakan gula, karena citarasa kopi memang harus dirasakan secara murni tanpa campuran apapun. Meskipun demikian, Pepeng tak mempermasalahkan jika ada pengunjung yang membawa gula atau susu sendiri bahkan camilan. 

Pepeng sedang menjelaskan tentang kopi lokal dari Nagari Lasi, Padang

Yang bingung dengan pilihan kopinya, Pepeng dengan sabar mengajak ngobrol mengenai kopi. Di sini kopi bukan lagi sebuah biji gosong dengan harum yang semerbak, kopi akan didedah menjadi sebuah cerita. Dari mana kopi tersebut, rasa dan ciri khasnya, hingga proses roasting yang tepat untuk menghasilkan rasa yang mantap. Dengan perlakuan yang seperti itu, Pepang membuat sistem antrian. Sekali jalan, ia hanya akan melayani tiga orang sementara yang lain harus menunggu giliran. Dengan demikian ia dan pengunjung bisa intim dan mengetahui kopi kesukaan masing-masing. Benar-benar sebuah klinik. 

Mesin press harga mahal? Manual lebih asoy

Lupakan juga melihat peralatan membuat kopi yang sophisticated. Kopi yang enak berasal dari roasting yang tepat, suhu air, dan gelas keramik. Tentang alat Pepeng hanya menggunakan sebuah presso manual. Di lain kesempatan, Pepeng juga sering memberikan teknik-teknik membuat kopi yang enak dengan alat-alat sederhana, bahkan membuat semacam perjalanan akhir minggu untuk memetik kopi. 

Suasana guyub di Klinik Kopi

Di Klinik Kopi, jangan pula mengharapkan bisa duduk tenang di depan laptop sambil browsing. Kedai ini tak menyediakan koneksi wifi. Deangan kondisi tanpa internet, tanpa kursi alias lesehan, dan ruang tanpa sekat, Pepeng berhasil mendorong pengunjungnya untuk saling ngobrol satu sama lain. Dari sini diskusi-diskusi lintas latar belakang seringkali terbentuk, pun demikian dengan ngobrol ngalor ngidul untuk sekedar basa-basi antara dua orang beda jenis yang mungkin saja berlanjut menjadi......naksir. Kegiatan jalan-jalan bersama di akhir pekan seperti yang diinisiasi Pepeng pun bisa terlaksana karena situasi guyub ini. 

Tiba giliran saya untuk dibuatkan kopi oleh Pepeng. Setelah bercakap beberapa lama, saya memilih kopi wamena disajikan sebagai espresso. Wamena terkenal dengan rasa pahitnya, paling pahit di antara kopi yang ada di Klinik Kopi. Sementara seorang teman saya memesan kopi Nagari Lasi dari Padang. Di antara guguran daun jati, keakraban khas Jogja, dan bau kopi yang menyeruak, tema saya tadi kemudian menyeletuk: “Klinik Kopi itu tempat minum kopi orang-orang fundamentalis.” Ya, mungkin benar, karena meminum kopi di sini kita akan belajar dari bawah, membangun fondasi pengetahuan kita tentang kopi. 








      

Djinah : Menguak Kengerian Sejarah Dari Sudut Pandang Perempuan

Komik, dari sebuah cerita bergambar yang identik dengan anak-anak berevolusi dan menemukan jati dirinya yang baru - media kritik sosial. Di sini, sebuah ide kritis bercampur baur dengan keindahan seni lewat gambar tubuh, beragam goresan dengan penuh arti, dan dialog singkat namun dengan pemaknaan dalam. istilah komik kemudian berubah menjadi grafis novel, sebuah usaha untuk meninggikan nilai rasa cerita bergambar ke dalam dunia yang lebih serius.
Pun demikian dengan Djinah - Years of Silence, sebuah novel grafis karya Evan Potons menceritakan tragedi 1965 dari kacamata seorang perempuan anggota Gerwani. Plot demi plot digambarkan secara hitam putih, seakan menyerap pembacanya sedikit demi sedikit ke dalam pasir hisap horor sejarah Indonesia. 

Sudut pandang Djinah sebagai pelaku utama dalam cerita ini, mampu menangkap kengerian lahir batin yang dialami oleh seorang wanita dalam konflik politik dan chaos. Djinah bergabung dengan gerwani tanpa alasan politik, namun kemudian harus menjadi “buruan” karena organisasinya adalah underbow dari Partai Komunis Indonesia. 

Bagi saya novel grafis ini seperti wujud visual dari buku Pram yang berjudul Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer: Catatan Pulau Buru. Pram memang tidak menulis tentang perempuan yang menjadi korban dalam tragedi 1965, melainkan tentang seorang gadis remaja yang menjadi korban militerisme Jepang. Tetapi satu yang menjadi benang merah dari keduanya, konflik selalu memberikan trauma yang mendalam bagi perempuan.