Sabtu, 13 Oktober 2012

Pesta Cahaya di Alun-Alun Kidul Jogja

Orang bilang: "Sesuatu yang sangat kita kenal tetap akan terasa berbeda ketika kita temui kembali setelah lama ditinggalkan." Rasanya ungkapan itu betul adanya. Setahun saya meninggalkan Jogja, meninggalkan hiruk-pikuk Jawa, merasuk ke dalam sepinya Gunung Tambora. Ketika kembali ke kota ini, segala sesuatunya terasa lebih semarak, lebih berwarna. Ada perasaan takjub dan sumpek di satu waktu sekaligus. 

Photograph by: Bharata Handoko
Jalan Kaliurang di sekitar UGM semakin ramai oleh restoran-restoran cepat saji. Selokan Mataram makin meriah ketika malam dengan hadirnya banyak kedai kopi baru. Mahasiswa dan kopi tak bisa dipisahkan sedari dulu. Tetapi jika dulu mahasiswa menyeruput kopi di warung burjo, sekarang coffee shop menjadi tempat yang mudah dijangkau kantong. Ah, Jogja ini memang surga. Yang terlihat spesial tak harus mahal, contohnya ya coffee shop itu. 

Pulang ke Jogja, berarti juga melekatnya kembali imajinasi akan kawasan kraton. Meskipun sudah banyak bangunan kraton yang hancur di sana-sini, namun  kawasan Jeron Beteng tetap menyenangkan bagi saya. Menyusuri jalan-jalan di kawasan dalam kraton ibarat menyusuri lorong-lorong Kota Terlarang Beijing dalam versi mini. Dengan sepeda, setiap kayuhan menyusuri Kraton Jogja menjadi terapi murah bagi saya menghalau stres. 

Alun-Alun Kidul (Selatan) adalah salah satu sudut Kraton Jogja yang selalu ramai dikunjungi orang di malam hari. Dulu ketika mahasiswa, saya selalu mampir ngangkring (nongkrong di warung tenda untuk minum wedang jahe atau makan nasi kucing) di tempat ini ketika night cycling ramai-ramai bersama teman menyusuri kraton. Lelah mengayuh sepeda terlupakan dengan segalas minuman dan melihat keramaian orang-orang ditutup matanya berusaha melintas di antara dua Beringin Kembar . Dua pohon beringin di alun-alun ini memang ikonik, karena umurnya yang uzur dan bumbu cerita-cerita mistis.

Photograph by: Bharata Handoko
Setahun tidak berkunjung ke Alun-Alun Kidul terasa tempat ini semakin ramai. Bukan hanya karena adanya angkringan, Beringin kembar, dan mahasiswa yang kuliah di Jogja semakin banyak, tetapi juga oleh kehadiran becak-becak berlampu warna-warni. Sebenarnya kendaraan berlampu hias ini bukan murni becak. Ada sepeda tandem, sepeda roda empat (ah sebut saja begitu), sepeda roda tiga. Nah untuk yang beroda empat dan beroda tiga ini saya sebut becak biar ringkas. Khusus yang beroda empat, becak ini punya empat pedal untuk dikayuh keempat penumpangnya. Sebut saja ini versi pra sejarah dari 4WD (Four Wheel Drive) hehe. Dengan uang 35 ribu rupiah becak beroda empat ini bisa disewa untuk dua kali putaran mengelilingi alun-alun. 


Photograph by: Bharata Handoko
Sambil minum wedang jahe saya mengamati lalu lintas alun-alun yang padat merayap. Mobil, motor, dan becak cahaya merayap berputar seperti melakukan tawaf. Parade cahaya yang terlihat indah diselingi tawa para manusia. Sepasang muda mudi mengayuh sepeda tandem tanpa beban, ceria. Sampai larut malam parade cahaya ini tak berhenti. Beda sekali dengan kondisi alun-alun beberapa tahun lalu. Di malam hari terasa temaram karena kurang lampu meskipun banyak orang. Makin larut makin berbahaya. Dari mulai preman yang beringas hingga isu kaum gay sering beredar di tempat ini. 

Tegukan terakhir minuman menjadi penanda saya harus pulang. Angin mulai dingin, malam semakin larut, tapi parade keceriaan manusia masih berlangsung. Alun-Alun Kidul berubah, Jogja berubah, lebih hingar bingar, lebih berwarna....


bharatahandoko.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar