Sabtu, 29 September 2012

Braga - A Fainted Moment From The Past


Lalu lintas tol Pasteur padat merayap kala itu.  Bandung di akhir pekan, diserbu ribuan jiwa metropolis yang haus penyegaran jiwa.  Jauh-jauh hari ingin menikmati Bandung sebelum pulang dari perjalanan jauh ke Jogja, saya enggan membayangkan macetnya Bandung di hari Minggu, bikin bad mood kalau dipikirkan. Saya memang sudah janji pada diri sendiri bahwa selesai tugas selama setahun mengajar di daerah terpencil, saya ingin mengunjungi Bandung. Setelah dua jam merayap di jalan tol, akhirnya saya sampai juga di rumah teman yang letaknya dekat Museum Geologi.

Masjid Lautze 2. Photograph by Bharata Handoko
Menurut saya Bandung itu salah satu kota yang unik dan cukup nyaman. Lingkungan di sekitar rumah teman saya ini tidak banyak tumbuh pohon, tapi udaranya cukup dingin.Bandung menawarkan banyak hal. Mulai dari pendidikan, seni budaya, hingga bisnis. Ketiga hal ini, berbaur dengan kultur masyarakat Sunda yang periang, melahirkan karakteristik Bandung yang edukatif, nyeni, namun dinamis dan kreatif. Konsep Belanda membangun Bandung sebagai Paris Van Java tidak pernah lekang dimakan waktu hingga kini. Bagi saya, Bandung memiliki aura romantis dan salah satu tempat nostalgia masa lalu favorit. Dan Braga adalah simbolisasi dari persepsi nostalgia saya.

Siapapun yang menyukai wisata sejarah pasti tahu Braga. Bisa dibilang jalan Braga dan sekitarnya merupakan pusat bangunan-bangunan tua di Bandung. Beberapa kali mampir di Bandung, saya tak pernah sempat mengunjungi Braga. Kali ini saya "balas dendam", hasrat memotret sudah di ubun-ubun. Tak tanggung-tanggung saya minta ditemani pacar yang yang kebetulan juga arsitek dan paham seluk beluk Braga hehehe. 

Salah satu sudut Jalan Braga. Photograph by Bharata Handoko
Kami janjian ketemuan di  Masjid Lautze 2 di Jalan Tamblong, sekalian solat dhuhur. Masjid ini memang dibangun oleh orang Cina yang beragama Islam, dan salah satu masjid yang cukup bersejarah. Dari luar memang tak terlihat bangunan ini adalah masjid, lebih mirip restoran Cina. Bingkai pintu yang melengkung menunjukkan identitas Tionghoa yang kuat. Dari segi interior bangunan ini tidak ada yang istimewa. Malah lebih mirip tempat makan yang disulap menjadi masjid. 

Siang itu cukup terik, dan mengingat jarak dari Jalan Tamblong ke Braga lumayan jauh jika jalan kaki, kami memutuskan naik taksi. Ada yang tak biasa dari taksi yang kami stop, supirnya minta harga karena argonya rusak. Tadinya kami tidak berfikir ada yang aneh. Pikir kami ya sudahlah argo mati, toh masih bisa ditawar. Kami baru tahu bahwa alasan argo mati ini hanya bohong belaka setelah pulang dari Braga dan menumpang armada taksi yang sama. 

Sampai di Braga, atmosfer masa lalu langsung merayap. Gedung-gedung art deco, cat-catnya yang lusuh, tiang-tiang listrik lama yang khas menguatkan atmosfer.  Dari beberapa kawasan kota lama yang pernah saya kunjungi, Braga termasuk yang paling bersih dibandingkan Kota Lama Jakarta dan Semarang. Lingkungannya pun relatif lebih nyaman dari dua kawasan tersebut. 

Hotel Savoy Homman. Photograph by Bharata Handoko
Beberapa bangunan sebagian dimanfaatkan kembali menjadi kantor, suatu hal yang patut dipuji untuk merevitalisasi bangunan tua agar tidak terbengkalai dan terkesan suwung. Landmark Braga - Hotel Savoy Homman menurut saya  adalah salah satu contoh revitalisasi yang berhasil. Bangunan ini difungsikan kembali menjadi hotel elit seperti sedia kala tanpa merubah bentuk dasar bangunannya. Melihat menara Homann yang artistik, saya langsung teringat game horor Bio Shock yang ngeri-ngeri sedap. Tangan saya pun sangat gatal untuk terus memotret. Sayang EOS 500D ditambah Sigma 10-20 saya tak kuasa melawan cahaya matahari.Terlihat Braga memang sedang berbenah. Selain Savoy Homman yang difungsikan kembali, Museum Konferensi Asia Afrika pun makin cantik. Bioskop Majestic sekarang menjadi gedung pertemuan dan berganti nama menjadi New Majestic. 

Beberapa bangunan berubah menjadi restoran. Perut saya lapar karena berjalan kaki lama dan mencium bau wangi masakan, tapi masih banyak bagian yang mesti disasar. Toko Sumber Hidangan masih menanti. Bagi yang mencari kue-kue zaman kakek nenek kita, toko ini tentulah pilihan tepat. Sumber Hidangan memang menjual kue-kue khas Belanda dan kue-kue lain yang sudah jarang kita temukan. Dari mulai arsitektur toko, lemari display, toples, hingga kertas pembungkusnya masih asli! Bahkan nomor telepon lima digitnya masih tercantum. Sambil memotret, saya manggut-manggut mendengarkan sang pacar menjelaskan fungsi bentuk interior toko ini. 

Toko Sumber Hidangan. Photograph by Bharata handoko
 
Sisa bangunan Penjara Banceuy.
Tidak semua bangunan di Braga ini dipertahankan bentuk aslinya. beberapa bangunan malah dirombak habis demi alasan ekonomi. Padahal, menururut peraturan bangunan cagar budaya boleh diubah asal tidak merusak desain dasarnya. Pacar saya ngomel-ngomel tiap kali melihat bangunan yang dipugar habis, diganti gedung menjulang yang membentuk kesan tak seimbang dan asal. Di sisi lain,  sangat sedih melihat beberapa bangunan terbengkalai dan hancur perlahan. Bangunan Sarinah malah mengenaskan. Bentuknya sudah mirip hutan Jumanji. Tak jauh dari Braga ada bangunan sejarah Penjara Banceuy tempat Bung karno pernah ditahan Belanda. Seharusnya bangunannya besar, tetapi karena sudah berubah jadi kawasan pasar hanya tersisa ruangan tahanan Bung Karno. Sekilas orang malah mengira ruangan itu adalah tempat kencing saking tak terawatnya.

Puas menjelajah Jalan Braga, sambil meluruskan kaki yang pegal kami berdua mampir ngopi di Kedai Kopi Purnama di Jalan Alkateri. Kedai kopi ini juga kedai kopi yang uzur, seuzur perusahaan kopi Aroma yang terkenal di Bandung. Roti bakar srikayanya mantap, apalagi bersanding dengan segelas kopi hitam.


bharatahandoko.blogspot.com











1 komentar:

  1. Savoy Homann mah emang terus berfungsi dari zaman dulu. Jadi gak tepat kalo bahasamu "difungsikan kembali". Kalo ngomong revitalisasi kawasan Braga, pasti gak lepas dari renovasi jalan dari aspal terus sekarang jadi paving batu. Ceritanya mau kembali kayak zaman Kompeni lagi. Sayang disayang, dulu itu pas karena yang lewat cuma kereta kuda sama mobil kadang-kadang. Kalo sekarang jadi berat banget bebannya dan tiap setaun harus dibenerin lagi. Boros ABPD.

    BalasHapus