Rabu, 02 Juli 2014

Kopi Fundamentalis




Rekam jejak sejarah kopi adalah sebuah perjalanan panjang. Ditemukan pertama oleh Bangsa Etiopia sekitar tahun 1000 SM, menjadi teman diskusi bagi para filsusf Perancis seperti Robespiere ketika Paris dilanda kemabukan yang amoral, hingga sekarang menjadi gaya hidup populer dari kedai kopi di hotel bintang lima hingga angkringan nasi kucing. 

Kata Kopi berasal dari bahasa Arab, qahwah yang berarti kekuatan. Sejarah mencatat awal mula kopi memang digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Di Turki kata qahwah kemudian mengalami perubahan menjadi kahveh. Oleh orang Belanda pelafalan kahveh berubah menjadi koffie dan dengan segera diadopsi oleh bahasa Indonesia menjadi kopi. 

Setiap biji kopi adalah unik, selain rekam jejak sejarah masing-masing, ada rasa yang berbeda satu sama lain. Kopi Toraja tak akan sama rasanya dengan kopi Wamena. Dan hanya orang-orang yang mencintai kopi yang mengetahui perbedaannya.

Mencintai kopi, apa pula maksudnya? Apakah seseorang harus menjadi barista untuk menjadi pecinta kopi? Nyatanya tidak. Banyak yang mengaku atau sering dilabeli pecinta kopi sebagian besar adalah mereka yang hanya bisa minum kopi. Sebagian memiliki preferensi akan suatu kopi tertentu dan menjadi minuman apa kopi tersebut. Sebagian lagi cukup puas dengan kopi sachet dan tak ambil pusing disajikan seperti apa. Tetapi kopi bukan sekedar minum dan selesai, kopi lebih dari itu. Alasan ini mendorong Pepeng untuk membuka kedai kopi bernama Klinik Kopi.

Di Jogja sendiri, kota gudeg yang masyarakatnya lebih identik sebagai penyuka rasa manis bermunculan banyak kedai kopi. Maklum, jumlah kampus dan mahasiswa semakin banyak. Ditambah situasi kota Jogja yang romantis di tiap sudutnya, ngopi pun menjadi hal yang wajib. Sebelum kedai kopi mulai marak, masyarakat Jogja sebenarnya sudah akrab dengan ngopi sambil ngobrol di tempat angkringan. Tetapi Klinik Kopi adalah salah satu contoh kedai kopi yang unik. 

Pepeng ngobrol dengan pengunjung untuk mengetahui kopi kesukaan mereka

Ketika orang datang untuk minum kopi di sini mereka tak hanya memesan kopi, minum, dan selesai. Sang barista Klinik Kopi, Pepeng, punya cara yang unik dalam menjamu pengunjung. Ibarat dokter, Pepeng bertanya apa yang dirasakan pasiennya. Lelaki dengan potongan cepak yang sekaligus juga pemilik kafe akan bertanya lebih dulu kopi seperti apa yang disukai sang penikmat. Di sini, seorang coffee addict sekalipun akan didorong untuk “membuka” dirinya untuk lebih memahami kopi kesukaannya. Apakah yang pahit total, sedikit rasa asam, atau pahit dan asam yang sebanding. 

Klinik Kopi sengaja tidak menyediakan menu. Bagi yang tak tahu kopi kesukaannya, prosesnya bisa trial and error. Tetapi di situlah seninya, sekali mendedah kopi bersama, merasakan pilihan dan membandingkan dengan pilihan lainnya, kita menjadi tahu karakter minuman kopi yang kita sukai. Filosofinya, memilih sesuatu tak boleh instan. Klinik Kopi juga tidak menyediakan gula, karena citarasa kopi memang harus dirasakan secara murni tanpa campuran apapun. Meskipun demikian, Pepeng tak mempermasalahkan jika ada pengunjung yang membawa gula atau susu sendiri bahkan camilan. 

Pepeng sedang menjelaskan tentang kopi lokal dari Nagari Lasi, Padang

Yang bingung dengan pilihan kopinya, Pepeng dengan sabar mengajak ngobrol mengenai kopi. Di sini kopi bukan lagi sebuah biji gosong dengan harum yang semerbak, kopi akan didedah menjadi sebuah cerita. Dari mana kopi tersebut, rasa dan ciri khasnya, hingga proses roasting yang tepat untuk menghasilkan rasa yang mantap. Dengan perlakuan yang seperti itu, Pepang membuat sistem antrian. Sekali jalan, ia hanya akan melayani tiga orang sementara yang lain harus menunggu giliran. Dengan demikian ia dan pengunjung bisa intim dan mengetahui kopi kesukaan masing-masing. Benar-benar sebuah klinik. 

Mesin press harga mahal? Manual lebih asoy

Lupakan juga melihat peralatan membuat kopi yang sophisticated. Kopi yang enak berasal dari roasting yang tepat, suhu air, dan gelas keramik. Tentang alat Pepeng hanya menggunakan sebuah presso manual. Di lain kesempatan, Pepeng juga sering memberikan teknik-teknik membuat kopi yang enak dengan alat-alat sederhana, bahkan membuat semacam perjalanan akhir minggu untuk memetik kopi. 

Suasana guyub di Klinik Kopi

Di Klinik Kopi, jangan pula mengharapkan bisa duduk tenang di depan laptop sambil browsing. Kedai ini tak menyediakan koneksi wifi. Deangan kondisi tanpa internet, tanpa kursi alias lesehan, dan ruang tanpa sekat, Pepeng berhasil mendorong pengunjungnya untuk saling ngobrol satu sama lain. Dari sini diskusi-diskusi lintas latar belakang seringkali terbentuk, pun demikian dengan ngobrol ngalor ngidul untuk sekedar basa-basi antara dua orang beda jenis yang mungkin saja berlanjut menjadi......naksir. Kegiatan jalan-jalan bersama di akhir pekan seperti yang diinisiasi Pepeng pun bisa terlaksana karena situasi guyub ini. 

Tiba giliran saya untuk dibuatkan kopi oleh Pepeng. Setelah bercakap beberapa lama, saya memilih kopi wamena disajikan sebagai espresso. Wamena terkenal dengan rasa pahitnya, paling pahit di antara kopi yang ada di Klinik Kopi. Sementara seorang teman saya memesan kopi Nagari Lasi dari Padang. Di antara guguran daun jati, keakraban khas Jogja, dan bau kopi yang menyeruak, tema saya tadi kemudian menyeletuk: “Klinik Kopi itu tempat minum kopi orang-orang fundamentalis.” Ya, mungkin benar, karena meminum kopi di sini kita akan belajar dari bawah, membangun fondasi pengetahuan kita tentang kopi. 








      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar