Senin, 28 Maret 2011

Ketika "Fuck" Masuk Desa

Weekeend kemarin saya dan beberapa teman mengadakan outbound untuk anak-anak korban Merapi, tepatnya di Shelter Gondang 1, Cangkringan. Acaranya memang sukses meskipun masih ada kekurangan di sana-sini karena keterbatasan koordinasi dan waktu (thanks to you guys...). Tapi satu yang bisa dipetrik dari kegiatan kemaren, saya dan teman-teman bisa jadi lebih akrab secara nyata karena selama ini kita seringnya ngobrol lewat social media dan hape. 
Oke, saya potong dulu ngobrol tentang saya dan teman-teman saya yang gila dan aurat sarat (wah kacau nih bahasanya). Di tulisan lain, mereka pasti saya bahas kok (kalo masih niat ingsun pastinya hehehe...piss fren).

Dari sekian banyak kesibukan dan kekisruhan yang ditimbulkan anak-anak kecil penggila outbound kemaren, ada satu momen yang menggelitik saya.Kebetulan waktu itu saya tugas di Pos 2. Pos ini letaknya di bantaran Kali Opak yang udah nggak ada airnya karena ketutup pasir Merapi (tapi enak lho buat downhill...). Kebetulan juga posisi kali ini menjadi pemisah antara desa tempat kami melakukan outbound dengan desa lain.
Lagi asik-asiknya ngasih permainan, salah satu anak ngomong ke saya begini: "Mas kae lho ono sing nakal, aku di-fuck cah-cah kae." (Mas itu lho ada yang nakal, aku di-fuck anak anak itu). Sambil bicara anak tersebut menunjuk anak-anak di seberang kali, dan otomatis mata saya juga melihatnya. Dan memang benar, ada segerombolan anak yang sikapnya provokatif dan salah seorang di antaranya mengacungkan jari tengah (what the hell...). Saya bilang ke anak-anak peserta outbound untuk tak ambil pusing dengan mereka dan lanjutkan permainan.
Selesai permainan, momen tersebut masih membekas di pikiran saya. Saya sempat ketawa kecil karena "kagum" bahwa anak yang notabene dari desa sudah tahu kata fuck dan gesture untuk mengungkapkannya. Tapi buru-buru saya juga mikir, apa segini besarnya pengaruh globalisasi dan budaya Barat buat anak-anak kita? 
Fuck memang sudah identik sebagai sebuah kata umpatan dan artinya jauh dari arti harfiahnya (senggama). Tapi melihat siapa yang mengatakan kata itu kemaren, saya bener-bener miris. Masih kecil sudah tahu kata umpatan yang sangat sarkas. Saya nggak tahu  anak itu tahu dan dapat darimana pengetahuan tata bahasa sarkasme ala gerombolan outlaw Amerika. Tapi yang saya tahu, pengaruh Barat sudah demikian besarnya hingga ke pelosok desa.

Saya lalu berjalan mundur ke belakang mengingat masa kecil saya ketika SD. Sekuat apapun orang tua mengajarkan budi pekerti, seketat apapun sistem sekolah mengajarkan sopan santun, anak-anak tetaplah anak-anak yang tumbuh  dan belajar dari lingkungannya. Saya pertama kenal bahasa umpatan kasar ketika kelas 3 SD dari teman saya. Pertama kali mendengar dan tahu artinya, saya merasa tidak sreg karena artinya yang kasar dan tidak senonoh. Tapi karena sering mendengar, akhirnya saya merasa biasa. Tapi tidak satupun bahasa umpatan yang saya tahu ketika kecil berbau Inggris. Tempat sekolah yang berpindah pindah memberikan saya pengetahuan bahwa sebuah kata bisa menjadi umpatan yang kasar itu sangatlah relatif, tergantung budaya dan tempat di mana kata-kata tersebut diucapkan. Di Pantura dan Jawa Tengah kata asu bisa jadi sangat kasar, tapi di Jawa Timur kata jangkrik bisa jadi lebih menohok.
Saya juga masih ingat, ketika itu media televisi sedang hot-hotnya karena televisi swasta bisa ditonton oleh banyak orang. Kalau sebelumnya kita harus punya antena parabola, saat itu saya cukup memakai antena dari wajan atau tutup panci bekas untuk menangkap "bocoran" frekuensi siaran televisi swasta. Alhasil, banyak serial kartun legendaris, film hollywood, telenovela, dorama Jepang, dan acara lainnya yang sebelumnya tidak bisa kita tonton karena TVRI hanya manyangkan acara-acara membosankan.
"Kebebasan" yang lebih untuk menonton acara televisi itu juga membawa dampak lanjutan yang dirasa negatif. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga memiliki kebebasan untuk menonton berbagai macam acara. Dari mulai Doraemon yang imut, hingga adegan ciuman film Hollywood yang bikin kemat kemut. Masyarakat kemudian berkata bahwa anak-anak menjadi dewasa sebelum waktunya karena televisi.

Kembali ke anak-anak yang sudah tahu kata fuck tadi, saya jadi sadar bahwa sarkasme bukanlah barang baru. Bisa jadi sebelum mengenal kata fuck, anak-anak tersebut tanpa sengaja tahu dari orang-orang sekitar. Anak-anak adalah peniru yang ulung yang sayangnya hanya pandai meniru, belum pandai memilah baik buruk.
Untuk pengaruh media, nampaknya saya sepaham kalau media membawa pengaruh yang besar bagi anak-anak. Tidak hanya televisi, tapi juga media cetak, dan jaringan internet yang mulai menjalar ke pelosok-pelosok. Saya tidak mengada-ada, karena jaringan internet di shelter bagi saya sudah cukup cepat untuk browsing dan mendownload data. Anak-anak di sana? Jangan kaget, mereka sudah melek teknologi dan melek internet. Mereka bahkan sudah paham apa itu touchscreen (layar sentuh) ketika saya membuka pesan singkat dari hape. 

Mungkin kondisi anak-anak yang demikian hanya potret kecil dari kondisi anak-anak di seluruh Indonesia. Tidak hanya orang dewasa yang bisa "terguncang " hebat oleh arus globalisasi, tapi anak-anak pun bisa mendapatkan pengaruh yang sama masifnya seperti orang dewasa. Menyalahkan anak-anak saya kira bukanlah hal yang bijak. Ini sama saja kita marah-marah kenapa kertas putih bisa dengan cepat berubah menjadi merah terkena lipstik, dan kemudian dengan mudah berubah warna ketika terkena warna lain.
Dalam pertjalanan pulang ke rumah sambil menikmati semilir angin gunung saya teringat Noam Chomsky yang mengkritik media Barat karena menelan mentah-mentah propoganda Washington tanpa tahu fakta sebenarnya di balik propoganda tersebut. Saya rasa kondisi kita pun setali tiga uang. Menelan mentah-mentah budaya Barat tanpa filter yang baik, dan celakanya perilaku sembrono ini  sadar atau tidak diwariskan ke anak-anak kita. 

www.bharatahandoko.blogspot.com