Sudah beberapa hari
ini surau dusun di tempatku selalu ramai sehabis Isya oleh anak-anak. Di dusun
yang hanya berjumlah 40 KK ini, tanpa listrik, dan udara dingin menusuk bersama
angin bergemuruh bak derap kuda-kuda liar di malam hari, berada di luar rumah
sehabis Isya bagi anak-anak adalah mustahil. Siluet pohon-pohon dadap dan
kelanggo menjulang tinggi bak raksasa hitam dan suara desir angin di sela-sela
daun adalah horor. Orang-orang dewasa pun, lebih memilih duduk di dalam rumah
mengitari lampu minyak, sebuah kehangatan dan penerangan kecil yang
menentramkan jiwa-jiwa sederhana. Jikalau tidak, mereka akan berkumpul di salah
satu rumah, berbagi cerita yang tak jelas ujung pangkalnya, sambil membakar
tembakau harum dan menyeruput kopi yang sepekat langit malam.
Sehabis Isya,
anak-anak itu duduk bersila atau bersimpuh, membentuk setengah lingkaran atau
berjajar rapi. Mata-mata kecil mereka berbinar memantulkan cahaya lampu minyak
bak bintang kejora. Mulut-mulut mungil
berkomat-kamit menghapalkan surat-surat pendek Al-Quran. 10 surat pendek, tak
kurang tak lebih. Mengalirkan bisikan ilahi di keremangan surau yang meruang.
Menghapal
surat-surat pendek untuk mengikuti lomba MTQ tingkat desa. Bukanlah sebuah
prestise semata, tapi lebih bagaimana anak-anak bisa merasakan atmosfer
kompetisi yang sehat. Bersabar mengasah kemampuan membaca Al-Quran malam demi
malam, berani menyuarakannya dengan sebaik mungkin di atas panggung, dan berbesar
hati menerima segala hasil meski tak juara, adalah hal-hal yang lebih berharga
dari kemenangan lomba dan hadiah apapun.
Menghapal bukanlah
hal yang mudah. Ketika mata harus memincing melihat huruf-huruf hijaiyah
bersambung di bawah cahaya temaram, ketika lidah terasa kelu berucap karena tak
terbiasa. Seperti bahasa Indonesia, membaca Al-Quran adalah hal yang luar biasa
bagi anak-anak itu mengingat keterbatasan akses untuk belajar. Para orang tua
memang fasih membaca Al-Quran dan berbahasa Indonesia, tetapi mereka adalah
jiwa-jiwa sederhana yang bahkan terlalu sederhana. Seakan mereka sudah terlalu
lelah mengolah tanah-tanah padas untuk bertani sehingga tak sempat
memperhatikan pendidikan anak-anaknya, dunia dan akhirat. Namun kesadaran
adalah sebuah proses, bukan kejadian serta merta atau pemberian sejak lahir.
Kehadiran para pendidik, lomba MTQ ini, dan dengung suara anak-anak menghapal
Al-Qur’an menggetarkan hati para orang tua betapa pendidikan itu penting.
Pada malam lomba
semua orang berkumpul. Setelah dua hari dirundung was-was karena hujan lebat
berangin, malam itu mereka merasa lega karena bisa mengadakan MTQ tingkat desa,
yang bahkan ternyata adalah MTQ tingkat desa pertama di Kecamatan Tambora. Masyarakat
berbondong-bondong ingin melihat jagoannya beraksi, tak peduli harus melewati
hutan gelap dan jalan licn berlumpur. Ini bukan pasar malam menurutku, tapi
keceriaan orang-orang terasa seperti di pasar malam. Satu per satu peserta naik
panggung, menampilkan kemampuan terbaik mereka. Tak terkecuali anak-anak.
Setiap penonton menyaksikan dengan seksama seperti menonton layar tancap.
Sementara temanya tampil, anak-anak lain sibuk komat kamit menghapal Al-Quran
seperti merapal mantra, ataupun sekedar membaca beberapa ayat untuk meluweskan
lidah yang kaku karena grogi.
Ada satu anak dusunku
yang terlihat gelisah dan kesepian di tengah hiruk pikuk manusia. Bukan karena
grogi, tapi seperti orang yang menanti sesuatu. Matanya menyapu seluruh sudut
tempat lomba, sedikit-sedikit menoleh di antara duduknya yang tak jenak. Di
sebelahnya duduk ibunya, mengusap lembut kening anak perempuanya yang sedikit
menangis. Ketika anak itu naik panggung,
anak itu pun masih sempat menatap barisan penonton dengan hening sebelum membaca
Al-Quran. Lidahnya kelu, nafasnya tertahan di awal-awal, seperti ragu
melanjutkan lomba atau tidak. Dan ketika penampilannya selesai, anak itu turun
panggung dengan menatapi anak tangga satu-satu, lesu.
Keluarga anak itu,
ayah ibunya, baru saja bercerai. Pada bulan ramadhan yang seharusnya syahdu dan
damai orang tuanya bertengkar. Amarah yang lepas menggetarkan dusun yang tak
seberapa besar itu, dan setiap fajar menyingsing adalah sebuah episode drama
tragedi. Seorang anak yang tumbuh dengan jiwa sederhana, di tempat di mana
hiruk pikuk kehidupan dan lini masa seakan berhenti berjalan, harus menghadapi
situasi yang kompleks di umur yang belia. Saat itu kulihat ia begitu tegar di
usianya yang rapuh. Selalu tersenyum biar amarah yang mengelilinginya jua,
selalu lantang bercakap denganku tanpa beban bahwa mala mengikuti. Tapi memang
aku tak berhak untuk menilai perasaan manusia, apalagi seorang anak. Apa yang
ada di wajahnya, di balik satu senyuman manis, bisa jadi adalah sejuta luka
yang tak terperi. Ini adalah waktu ketika simpati dan empati tak cukup
menyelami hati yang sudut-sudutnya adalah labirin perasaan yang menyesatkan.
Anak itu tetap
duduk diam, sebuah keheningan di keramaian. Wujudnya seakan semakin surut di
malam yang larut, air mata menitik yang seperti embun jatuh di malam yang
salah. Esok hari, ketika matanya tak lagi sembab, ibunya bercerita kepadaku apa
yang terjadi dengan anaknya semalam. Tepat ketika bayu mulai berdesir di
sela-sela dedaunan, menggugurkan daun-daun berwarna kuning tanda penghabisan
takdir, ucapan ibunya menambah ngelangut.
Pada malam lomba,
anak itu menanti ayahnya pulang melihat ia tampil di panggung seperti ayah
anak-anak lain yang mengantar menembus halimun dan menapaki kegelapan malam.
Tapi di antara orang-orang itu, di antara wajah-wajah itu, tak satupun ia
melihat wajah laki-laki yang ia kenal, wajah ayahnya....
Bharata Handoko
Sori Bura, Tambora, Idul Adha 2011
Untuk muridku yang
pikirannya pernah mengembara ke medan Kurusetra yang berdebu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar