Pada sebuah lukisan, tergambar sebuah perayaan
yang meriah. Wajah-wajah penuh sukacita, sebagian bertopeng sebagian tidak.
Kesan klasik dan berkarakter sangat kuat dari goresan kuas. Lukisan itu
berjudul “Cap Go Meh”, dilukis oleh tokoh senirupa Indonesia Sudjojono di tahun
1940. Sekilas orang tak akan mengira bahwa lukisan itu menggambarkan perayaan
Tionghoa. Merahnya merah tak tergambar di sana, tak ada liong, tak ada
mata-mata sipit, yang ada hanya sebuah perayaan bak pasar malam para pribumi. Dari
lukisan itu saya sadar bahwa perayaan Cap Go Meh bukanlah sebuah perayaan baru,
bukan pula hal asing, bahkan terasa perayaan ini-sekalipun menggunakan bahasa
Cina-adalah milik siapapun. Di waktu ketika Pemerintahan Kolonial mengkotakkan
masyarakat berkedok cacah jiwa, Cap Go Meh menjadi perayaan bersama di mana
semua orang baik mereka yang dilabeli pribumi dan Tionghoa. Pembauran telah
terjadi ketika konsep-konsep multikultural dan hak asasi belum muncul.
Cap Go Meh, yang dirayakan setelah Imlek selalu memberi kesan yang mendalam buat saya.
Terlebih lagi tahun ini, ketika saya bertugas sebagai Pengajar Muda di suatu
daerah dengan etnis Tionghoa yang jumlahnya sangat minim. Mungkin juga karena
saat ini kondisinya yang berbeda, atau mungkin juga karena saya hidup sedari
kecil dekat dengan budaya Cina, sehingga terasa ada yang "kurang"
tahun ini - meriahnya merah dan gegap gempitanya kembang api yang laksana bunga
di langit malam. Imlek telah menjadi sebuah perayaan
nasional. Sebuah pengakuan akan mereka etnis Tionghoa - sebuah entitas yang selama ini dianggap beda.
Tapi apakah sebuah perayaan seremonial bisa
menunjukkan perasaan seseorang? Sepertinya kelewat absurd apabila mengakui
Imlek sebagai perayaan nasional bisa menjadikan etnis Tionghoa merasa nyaman
menjadi Indonesia. Saya tidak bermaksud rasis terhadap etnis Tionghoa. Yang
saya tekankan bukanlah Imleknya, tetapi terlalu seringnya kita terjebak dalam
fantasi acara seremonial. Pertanyaan tersebut bisa saja ditunjukkan untuk
semua. Saya, kamu, kalian, bahkan mereka yang merasa “bangga” menjadi kaum
pribumi.
Rasa nyaman sendiri saya akui relatif, bahkan
kemunculannya adalah sebuah probabilitas. Karena saya tidak ingin menambah
rumit racauan saya, maka saya menyederhanakan rasa nyaman menjadi nasionalisme,
yang apabila diidentifikasi lagi adalah sebuah laku kepedulian dan keaktifan etnis
Tionghoa dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selama ini terkesan hanya
segelintir orang Tionghoa yang peduli dengan situasi sosial ataupun keadaan
negara. Mungkin juga mereka masih trauma karena selama Orde Baru karena
“pembatasan-pembatasan” terhadap etnis ini. Yang terlihat di mata kita, etnis
Tionghoa jago berdagang, maka logis apabila mereka banyak yang merajai bisnis
di Indonesia. Kaya, memiliki hunian eksklusif, mobil mewah, seringkali hang out dalam kelompok sesama Tionghoa,
bahkan dalam memilih sekolah, seakan tak tersentuh oleh “pribumi”. Susah
rasanya melihat anak-anak muda Tionghoa ada di kampus negeri, lantang ngomong
masalah sosial di kampus ataupun tempat demo, nongkrong di angkringan. Rasa iri
kemudian muncul, dan syak wasangka tumbuh bak cendawan di musim hujan. Etnis
Tionghoa kemudian hanya dicap kelompok pencari keuntungan ekonomi semata, tidak
membaur, nggak paham dan peduli
dengan masalah sosial karena hidupnya yang eksklusif. Maka tak heran ketika
kerushan Mei ’98 toko-toko milik etnis inilah yang menjadi sasaran pertama
penjarahan dan penghancuran. Bahkan hingga sekarang hal ini masih berlaku.
Yang tak terlihat di mata kita, ada etnis Tionghoa
yang kere, berkulit hitam karena harus mengais sesuap nasi di bawah terik
matahari, suka nongkrong bareng orang-orang “pribumi”, bahkan peduli dengan
lingkungan sekitar meskipun borju. Tidak
percaya? Cek saja Cina Beteng dan di daerah Teluk Naga atau di sudut manapun di
kota, pasti ada etnis Tionghoa-yang kaya sekalipun, yang jauh dari stereotip
negatif. Yang diperlukan hanya mencari dengan teliti, dan mengenal mereka
dengan hati.
Menurut saya semua manusia itu sama saja. Tanpa
melihat SARA, pasti akan ditemukan orang yang baik maupun yang jahat. Begitu
juga dengan etnis Tionghoa. Saya temukan banyak yang menyebalkan, tapi
orang-orang Tionghoa yang baik dan peduli pun tak terhitung jumlahnya. Begitu
juga saat ini, saya temukan banyak etnis Tionghoa yang sangat baik, nasionalis,
dan peduli akan kondisi sosial bangsanya. Saya tak perlu sebutkan sipa mereka
satu per satu. Mereka adalah teman-teman saya, rekan-rekan diskusi saya ketika
kegelisahan tentang bangsa ini sudah sampai di ubun-ubun, dan guru-guru saya
yang memberikan bekal mengabdi selama setahun. Mereka adalah yang kita anggap
“tak tersentuh” dan berbeda. Tapi mereka punya keberanian untuk berpikir keras
membangun negeri ini, bersusah-susah hidup dalam kesusahan, berjibaku dengan
kondisi alam yang keras, dan membaur bersama masyarakat.
Dengan pengalaman yang hebat dan tingkat
pendidikan yang tinggi, mereka bisa saja mengenyam kenikmatan dalam
pekerjaan-pekerjaan mapan, ataupun duduk dalam pemerintahan. Tapi mereka
memilih untuk “hanya” menjadi bagian dari Pengajar Muda. Menjadi guru di daerah
terpencil, mengajarkan kejujuran dan betapa bangsa ini masih elok meskipun
rapuh pada hati anak-anak di pelosok negeri. Dan ketika perayaan Imlek tak
bertabur warna-warni kembang api, dan Cap Go Meh hanya diiisi oleh suara lenguh
sapi dan ringkikan jangkrik, cuma kalimat So Hok Gie yang saya ingat:
“Saya telah
menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi
seseorang yang ingin mencanangkan kebenaran”
Bharata Handoko
Sori Bura, Tambora, Cap Go Meh 2012
Untuk Ibu Wei, dan teman-teman etnis Tionghoaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar