Jumat, 21 Januari 2011

Indonesian Movie: Is It Done Yet?

Tanggal 30 Maret beberapa waktu lalu adalah sebuah hari yang penting bagi insan perfilman Indonesia. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia perfilman nasional, Hari Film Nasional setidaknya menjadi momen penting bahwa sejarah perfilman Indonesia telah berlangsung begitu panjang, yang hingga saat ini mencapai usianya yang ke-60. Dalam rentang waktu yang panjang itu pula, industri perfilman Indonesia mengalami jatuh bangun, mengalami masa jaya dan keterpurukan berkali-kali. Ironisnya, persoalan-persoalan yang dihadapinya pun selalu sama. Bagi sebagian orang, terutama bagi saya sendiri, perfilman Indonesia hingga saat ini adalah rangkaian sinematik kondisi bangsa Indonesia sendiri-jatuh bangun karena hal yang sama. Ketika industri perfilman sedang bergairah dan hampir mencapai puncak kreatifitasnya, hal ini selalu saja terganjal oleh isu-isu lama seputar sarana dan prasarana, kebijakan pemerintah, hingga pertentangan antara idealisme dengan kuasa modal.

Tengok saja rentetan judul-judul film yang telah dihasilkan oleh industri perfilman kita. Ketika industri berada pada puncak kreatifitasnya karena mampu menghasilkan film-film bermutu bagus, acapkali hal tersebut tercoreng oleh aksi beberapa produsen film yang membuat film asal-asalan dan tidak memperhatikan segi cerita dan asal laku. Fakta di lapangan mencatat, di tengah gandrungnya masyarakat kita akan film-film nasional, film nasional yang diproduksi malahan cenderung mengusung tema yang sama. Beberapa film bahkan terang-terangan mencaplok cerita film luar yang terang-terangan diketahui masyarakat luas, sementara beberapa film yang lain dengan vulgarnya mengusung tema berbau seks dan cerita setan yang hiperbolik. Sedih memang, tapi itulah film-film nasional yang terpampang di sebagian besar bioskop-bioskop Indonesia. Dari bisokop murah hingga jaringan 21.

Separah itukah kondisi perfilman kita? Jawabanya memang tidak simpel, karena kenyataanya sineas-sineas kita masih mampu menghasilkan sebuah karya yang bermutu. Beberapa film seperti Ada Apa Dengan Cinta (AADC), Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Naga Bonar Jadi 2 merupakan contoh film yang tidak hanya bagus dari segi mutu cerita dan gambar, tetapi mampu menarik penonton dan finasial dalam jumlah yang besar. Sementara di sisi lain ada film-film kita yang sungguh sangat artistik seperti Opera Jawa karya Garin Nugroho, dan Blind Pig yang kontroversial. Meskipun film-film ini memiliki nilai seni yang sangat tinggi, namun tidak bisa diapresiasi oleh masyarakat luas karena terganjal oleh jalur distribusi bioskop Indonesia yang ribet.

Antara Seni dan Komersialisme

Dewasa ini kritikus seni membagi sebuah karya seni menjadi dua kubu, yaitu seni tinggi (high art)-materi artistic yang membutuhkan selera tinggi dan cerdas untuk mengapresiasinya, dan seni rendah (low art)-sesuatu yang tidak butuh kecanggihan untuk menikmatinya. Beberapa orang kemudian menggunakan kata kitsch, dari bahasa Jerman yang berarti “mengkilat” atau rongsokkan” untuk menyebut seni rendah tadi. Sebagai sebuah karya yang tersusun dari rangkaian gambar, cerita, dialog, dan musik pendukung, film adalah sebuah karya seni yang kompleks. Sebagai sebuah karya seni pula, sebuah film bisa dikategorikan apakah itu high art atau hanya sebuah kitsch.

Apabila kategori ini diterapkan dalam perfilman kita, dengan melihat kenyataan yang ada di lapangan, sudah pasti mayoritas film kita masuk pada kategori low art. Banayk sineas kita yang ahli dalam membuat film dengan menampilkan gambar-gambar yang memukau, namun dari segi cerita terasa kurang bahkan datar-datar saja. Tema yang diusung pun hanya seputar cinta remaja yang dikemas ala kadarnya, sehingga tidak membutuhkan intelektual yang tinggi dalam menonton. Sediakan saja waktu luang, sekantung pop corn, tonton filmnya lalu lupakan. Di sisi lain, banyaknya film yang mengeksploitasi kisah horror dan menyerempet seks, film tersebut sudah jelas masuk dalam kategori kitsch dalam arti yang sebenarnya (baca: rongsokan). Perspektif seni apa yang dipakai untuk menilai adegan seks dan cerita hantu konyol, sementara judulnya pun tidak lepas dari kata-kata Ranjang, Perawan, Brondong, Kuntilanak, Pocong?

Memang dengan situasi yang ada saat ini, industri film lebih memilih memproduksi film laiknya sinetron kejar tayang. Cerita yang datar, mudah dibuat, dan laku di pasaran. Namun, bukan berarti sebuah film high art pun harus mengorbankan komersialisme. Bagi saya sebuah film high art tidak melulu tentang film festival yang sulit dipahami ceritanya, tetapi lebih kepada adanya pesan yang jelas dan mampu mendidik masyarakat melalui cerita yang bagus. Laskar Pelangi dan AADC adalah contoh bahwa sebuah karya seni tinggi tak harus bertentangan dengan komersialisme. Laskar Pelangi memberikan inspirasi kepada kita bahwa hidup itu patut diperjuangkan sesulit apapun. Di sisi lain, film tersebut juga menyadarkan kita bahwa bahasa daerah pun patut kita kembangkan sebagai salah satu elemen penting dalam film, sejajar dengan Bahasa Indonesia dan bahasa loe-gue. AADC mampu meremajakan kembali film bertema anak muda dengan cerita yang mendalam, dan dalam waktu yang sama membangkitkan kegairahan kita akan sastra (setidaknya membaca buku Aku-nya Chairil Anwar).

Sudah saatnya sineas Indonesia mengembangkan kreatifitasnya dan tidak terjebak pada tema-tema tipikal untuk filmnya. Masih banyak tema lain yang perlu digali dan laku di pasaran. Memang untuk membuat sebuah tema yang belum familiar, diperlukan keberanian dan modal yang tidak sedikit. Di sinilah peran produser film untuk memberi dukungan modal dan bersinergi dengan kreatifitas para sineas. Dengan demikian lahirlah sebuah film yang tidak hanya bermutu tinggi, namun juga tidak hilang nilai komersialnya (paling tidak bisa didistribusikan di jaringan bioskop Indonesia sehingga bisa ditonton banyak orang). Saya ingat di penghujung tahun 1990-an, ketika industri film kita mati suri, empat sineas muda Indonesia bergabung membuat satu film yang bersisikan empat cerita. Keempat cerita dalam film itu tidak berhubungan sama sekali, dan sedikit membingungkan karena konsep seperti itu memang belum umum di perfilman kita. Film tersebut berjudul Kuldesak (yang artinya jalan buntu dalam bahasa Perancis). Tidak bagus-bagus amat memang, dan tidak ditonton banyak orang. Namun di sana ada semangat untuk menghidupkan kembali perfilman Indonesia dengan segala keterbatasannya. Kita juga berharap film Indonesia juga tidak berakhir dalam kuldesak atau jalan buntu untuk mengembangkan diri.

(Jogja 14 Mei 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar