Jumat, 14 Mei 2010

Renungan Malam Selikuran

Tiada niat untuk mengetik, sekilas pikirku tidak berada di sini. Pikiranku sedang melayang jauh di cakrawala imajinasi lain. Sama sekali tak tersalurkan pada jemari yang menunggu untuk berjingkat dan menari-nari di atas kibor. Tapi, toh, akhirnya kumulai juga menulis huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat.
Perasaan kemudian serasa menjuah-juah, di tengah himpitan kepenatan di penghujung ujian semester.
Tinggal menunggu Kuasa Illahi, maka terjadilah yang seharusnya terjadi! Itulah selalu pikirku yang menyusup cepat dalam tubuh manakala ujian telah selesai. Ketuntasan yang terasa belum tuntas, karena aku masih harus berjuang dengan dada membusung dan berusaha berlapang dada jikalau nilai-nilai yang kudapat melenceng dari harapan.
Apakah hidup harus seperti ini, selalu? Berjuang, berusaha lari sekuat tenaga mengejar impian, mengorbankan sesuatu demi suatu yang lain yang nampak tak pasti adanya. di saat lelah, tubuh tersungkur di lumpur-lumpur, lalu jiwa merintih di tengah hingar-bingar dunia. Di malam hari, kita kemudian bersimpuh di bawah cahaya yang temaram memnadikan tubuh yang letih. Lalu tangan memanjatkan doa pada Sang Kuasa, bergundah gulana dan memohon secuil ketenangan. Semuanya retoris, klise, dan pergerakkan dinamis manusia yang sekiranya satagnan menurutku. Lebih terasa seperti candu . Marx bekata agama itu candu, tapi buatku kehidupan pun sebenarnya candu yang terpaksa kita sesap dan setubuhi.
Untuk apa kita berusaha? Untuk apa kita mengejar segala sesuatu keindahan yang membuat kita nyalang dan menjadi pejal? Untuk kita sendirikah, atau untuk sesuatu yang kau ciptakan sendiri? Sesuatu yang kau ciptakan dari imaji agar kau tetap bersemangat berlari di jalanan kehidupan. Sebuah alasan, seseorang, atau apapun itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar