Rabu, 23 Februari 2011

In The Name of Chopsticks


Globalisasi di abad 21 telah membawa perubahan dan tantangan yang sangat besar bagi kehidupan. Didukung oleh modernisasi dan perkembangan teknologi informasi yang masif, globalisasi seakan menjadi keniscayaan yang tak bisa dibendung. Kontak dengan dunia internasional yang semakin intens pada satu sisi memberi dampak positif seperti kemudahan akses pertukaran informasi, dan kemudahan mendapatkan komoditi karena integrasi ekonomi, serta hubungan politik dan kemanan internasional yang relatif stabil. Di sisi lain, persaingan memperebutkan sumber daya menjadi semakin ketat, culture lag dan culture shock karena perbedaaan budaya antar negara, serta kecemasan menjadi pihak yang kalah dalam persaingan global. Hal ini disebabkan karena tidak semua pihak memliki kesiapan atau berangkat dari starting point yang sama dalam menghadapi globalisasi.
Kecemasan dan skeptisme terhadap globalisasi ini tidak hanya pada level negara, namun juga pada level akar rumput bahkan pemuda sebagai bagian yang tak terpisahkan. Sudah menjadi hokum alam jika pemuda sangat mudah dan selalu menjadi garda terdepan dalam mengadopsi teknologi atau budaya yang sedang tren. Tetapi bukan berarti semua pemuda bisa menghadapi konsekuensi dari pilihannya tersebut. Selalu ada terjadi benturan identitas ketika kita mengadopsi budaya luar. Sebagai bangsa Indonesia yang berfalsafah ketimuran, para pemuda terbentur dengan globalisasi yang dalam hal ini sering diidentikan dengan budaya Barat. Terlepas dari sains dan teknologi Barat yang lebih berkembang, arus deras budaya Barat yang masuk menggerus kearifan lokal menjadi marjinal. Celakanya, para pemuda sering mengadopsi budaya Barat dengan mentah-mentah. Sex bebas, drugs, hedonisme dan konsumtif adalah sekelumit dampak negatif.  Sementara pemuda yang berkecimpung dengan kemajuan teknologi hanya mengejar modernisasi dan kemajuan yang seringkali tidak cocok dengan kebutuhan bangsa kita.
Sementara itu, terlalu berpegang pada tradisi Timur yang kaku juga bisa berbahaya. Tradisi yang ortodoks menjadikan pemuda kita terlalu “patuh” dalam arti yang negatif, kurang kreatif dan miskin inisiatif karena menunggu wejangan tetua, dan self centered. Alhasil, di lapangan pemuda kita cenderung minder bahkan shock berhadapan dengan pemuda lain yang budayanya menajarkan kebebasan berpendapat. Padahal, di abad 21 ini manusia dituntut untuk menjadi semakin kreatif melakukan terobosan-terobosan sehingga diperlukan wawasan yang luas dan jaringan sosial yang tidak terkotak-kotak.
Untuk memiliki wawasan yang luas, pemuda harus melakukan pembelajaran komprehensif bahkan berani mengadopsi ilmu dari luar. Namu perlu kehati-hatian agar tak terjebak dalam pola konsumtif, hedonisme, terlalu outward looking dan apatis terhadap kondisi bangsanya. Untuk itu, perlu adanya tenik yang baik dalam memadukan budaya kita dengan budaya luar. Ketika saya masih duduk di bangku kuliah, seorang professor dari Korea mengnelakan falsafah dari Asia Timur, “Falsafah Sumpit”, bisa menjadi ilham pemuda dalam menghadapi globalisasi. Falsafah Sumpit berdasarkan pada bentuk sumpit yang memiliki dua sisi, aktif dan pasif. Bagian sumpit yang aktif bergerak melambangkan identitas Barat (kesetaraan, dinamis, demokratis, egaliter, bebas berfikir menjunjung tinggi sains). Sisi pasif (sebagai tumpuan) melambangkan sifat orang Timur (tradisi, norma budaya, agama) .Kedua unsur ini perlu dipadukan dengan baik laksana sumpit yang menjepit erat sebuah benda.
Dengan berpedoman pada sumpit, seorang pemuda tidak hanya mengantongi ilmu pengetahuan modern, namun juga cerdas menerepakannya sesuai karakter bangsa. Tidak hanya satu ilmu, namun semua ilmu ia pelajari dengan kesadaran bahwa semua ilmu itu milik Tuhan dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Bahkan seorang pemuda bisa membuat teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kultur bangsanya (seperti yang dilakukan Jepang dengan desain mobil yang irit, berukuran tidak terlalu besar, dan memuat banyak orang sesuai kutur orang Asia yang berperawakan kecil suka bersosialisasi). Selain itu, falsafah sumpit juga mengajarkan kita bahwa selain kecerdasan intelijensi (IQ), seseorang juga perlu memiliki jaringan hubungan sosial yang baik secara aktif (EQ/Emotional Question). Globalisasi memberikan kesempatan luar biasa untuk bertemu dengan berbagai macam orang dengan beragam latar belakang. Sehingga pengetahuan dan referensi kita pun semakin kaya.  Hanya pemuda yang memegang “sumpit” dengan baik yang bisa menjadi kreatif, dinamis, sehingga mampu bersaing menghadapi segala perubahan yang ada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar