Jumat, 28 September 2012

INDONESIA - IN THE NAME OF IDENTITY

Photograph by: Bharata Handoko

"What a country, if it is not a nation?" - The sentence is a title of one chapter of the book by Clifford Geertz. Geertz discussed equating the concept of "country" and "nation" was causing a lot of problems. In fact, many countries that are not inhabited by one nation alone, but from a variety of nations. On Indonesia, Geertz said something interesting. He said Indonesia is so complex, so difficult to describe the exact anatomy. This country is not only multi-ethnic, but also an arena of multimental influence (Indian, Chinese, Dutch, Portuguese, Hinduism, Buddhism, Confucianism, Islam, Christian, Capitalist, etc.). The complexity of Indonesia seems to also permeates within every individual. Identification of self and a sense of engagement with Indonesia to be something more complicated now.

Lets imagine someone lives in Indonesia, both parents areIndonesian. He was born in this land, and by that he got Indonesia's ID Card. In this case, based on the issues discussed by Geertz, it is not hard to tell that person is 100% of the Indonesian nation. Meanwhile, if a person born of a father from Germany (citizenship and nationality is German), her mother is an Indonesian citizen with a family history of China, physically he is more like white people. The public will think he is not Indonesian. But on every occasion he asserted himself an Indonesian, and he has chosen Indonesian citizenship. From there arises the question, what does it mean to be Indonesian? Did someone with citizenship as Indonesia necessarily make him feel a part of this nation? 

Currently, become Indonesian might be a feeling of fear. Fear for being in the midst of chaos and conflict situation. Fear of not having a leader who is not wise in the government; the dilapidated systems, which tend to be unstable economy; fear of getting hurt or even killed because of different opinions or beliefs; fear of the future that seemed to dim. Fear not only attacks people who are poor, but also the middle class, the well educated,  everyone. On television, in cafes, at the universities, we discuss all issues related to the country but we are afraid to take action to make changes. We are afraid of the dark, and because we are so afraid of the dark then we can only curse it. 

Become a part of Indonesia could also mean feeling unconfident. With a vast territory, a strategic location, rich natural resources and thousands of islands stretching from west to east, this country should be easily identifiable. However, we must be presumed inhabitants of the middle of nowhere when we talk to people from other country. In fact we are as trapped in a cliché but it is also an important fact that Bali is better known than Indonesia. Dozens of thousands of islands stretching such as shrink into only a dot on a map. At a certain point, it might be the desire to run away, changing citizenship, and go somewhere more prosperous. Indonesia is a vast and beautiful country, but it holds the potential conflict and all the horror. Popular T-shirts "Indonesia: Dangerously Beautiful", it seems pretty decent to describe its contradiction.

On the other hand, Indonesian are a hard worker and optimistic. People wake up in the early morning for a living; either to the fields, to sell at the market, or crammed on public transportation to the office. Oftentimes, we see the beautiful images of our nature, barefoot little angels' smile while playing and drown themself  in golden pady field, and those pictures are not advertisements but photographs taken significantly from each person who travels through this country. In the media we see a lot of news about the achievements of sons and daughters of Indonesia to the international level. More people aware about the dark history of this country, yet they refuse to forget it and choose to step forward and make a better future.

Being Indonesia is not as simple as put our names, date of birth place, address, religion, and sex on a small card called identity cards. There is a process of thinking, inner struggle, and decision making to choose. It is a choice. We can choice to be a frightened and shy generation, or being a energetic and optimistic. In undergoing the choices we sometimes feel scared and lost confidence, but on the other side of consciousness and spirit guiding our journey back. Amid the grim, we should not only keep silent and cursing the darkness, but we have to move and change. It's time to step in and spread all over the country to get to know the people - a deeper identity. Throw away all the preconceptions and prejudice which are obtained from stereotyping,  oversimplified or overexploitation news made by media. This is not a generation of naive and hypocritical nationalism, not a bunch of intoxicated youth fashion trends wearing t-shirt “Damn I Love Indonesia!”.

bharatahandoko.blogspot.com

Rabu, 04 April 2012

Cap Go Meh


Pada sebuah lukisan, tergambar sebuah perayaan yang meriah. Wajah-wajah penuh sukacita, sebagian bertopeng sebagian tidak. Kesan klasik dan berkarakter sangat kuat dari goresan kuas. Lukisan itu berjudul “Cap Go Meh”, dilukis oleh tokoh senirupa Indonesia Sudjojono di tahun 1940. Sekilas orang tak akan mengira bahwa lukisan itu menggambarkan perayaan Tionghoa. Merahnya merah tak tergambar di sana, tak ada liong, tak ada mata-mata sipit, yang ada hanya sebuah perayaan bak pasar malam para pribumi. Dari lukisan itu saya sadar bahwa perayaan Cap Go Meh bukanlah sebuah perayaan baru, bukan pula hal asing, bahkan terasa perayaan ini-sekalipun menggunakan bahasa Cina-adalah milik siapapun. Di waktu ketika Pemerintahan Kolonial mengkotakkan masyarakat berkedok cacah jiwa, Cap Go Meh menjadi perayaan bersama di mana semua orang baik mereka yang dilabeli pribumi dan Tionghoa. Pembauran telah terjadi ketika konsep-konsep multikultural dan hak asasi belum muncul.

Cap Go Meh, yang dirayakan setelah Imlek selalu memberi kesan yang mendalam buat saya. Terlebih lagi tahun ini, ketika saya bertugas sebagai Pengajar Muda di suatu daerah dengan etnis Tionghoa yang jumlahnya sangat minim. Mungkin juga karena saat ini kondisinya yang berbeda, atau mungkin juga karena saya hidup sedari kecil dekat dengan budaya Cina, sehingga terasa ada yang "kurang" tahun ini - meriahnya merah dan gegap gempitanya kembang api yang laksana bunga di langit malam. Imlek telah menjadi sebuah perayaan nasional. Sebuah pengakuan akan mereka etnis Tionghoa - sebuah entitas yang selama ini dianggap beda.

Tapi apakah sebuah perayaan seremonial bisa menunjukkan perasaan seseorang? Sepertinya kelewat absurd apabila mengakui Imlek sebagai perayaan nasional bisa menjadikan etnis Tionghoa merasa nyaman menjadi Indonesia. Saya tidak bermaksud rasis terhadap etnis Tionghoa. Yang saya tekankan bukanlah Imleknya, tetapi terlalu seringnya kita terjebak dalam fantasi acara seremonial. Pertanyaan tersebut bisa saja ditunjukkan untuk semua. Saya, kamu, kalian, bahkan mereka yang merasa “bangga” menjadi kaum pribumi.

Rasa nyaman sendiri saya akui relatif, bahkan kemunculannya adalah sebuah probabilitas. Karena saya tidak ingin menambah rumit racauan saya, maka saya menyederhanakan rasa nyaman menjadi nasionalisme, yang apabila diidentifikasi lagi adalah sebuah laku kepedulian dan keaktifan etnis Tionghoa dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selama ini terkesan hanya segelintir orang Tionghoa yang peduli dengan situasi sosial ataupun keadaan negara. Mungkin juga mereka masih trauma karena selama Orde Baru karena “pembatasan-pembatasan” terhadap etnis ini. Yang terlihat di mata kita, etnis Tionghoa jago berdagang, maka logis apabila mereka banyak yang merajai bisnis di Indonesia. Kaya, memiliki hunian eksklusif, mobil mewah, seringkali hang out dalam kelompok sesama Tionghoa, bahkan dalam memilih sekolah, seakan tak tersentuh oleh “pribumi”. Susah rasanya melihat anak-anak muda Tionghoa ada di kampus negeri, lantang ngomong masalah sosial di kampus ataupun tempat demo, nongkrong di angkringan. Rasa iri kemudian muncul, dan syak wasangka tumbuh bak cendawan di musim hujan. Etnis Tionghoa kemudian hanya dicap kelompok pencari keuntungan ekonomi semata, tidak membaur, nggak paham dan peduli dengan masalah sosial karena hidupnya yang eksklusif. Maka tak heran ketika kerushan Mei ’98 toko-toko milik etnis inilah yang menjadi sasaran pertama penjarahan dan penghancuran. Bahkan hingga sekarang hal ini masih berlaku.

Yang tak terlihat di mata kita, ada etnis Tionghoa yang kere, berkulit hitam karena harus mengais sesuap nasi di bawah terik matahari, suka nongkrong bareng orang-orang “pribumi”, bahkan peduli dengan lingkungan sekitar meskipun borju. Tidak percaya? Cek saja Cina Beteng dan di daerah Teluk Naga atau di sudut manapun di kota, pasti ada etnis Tionghoa-yang kaya sekalipun, yang jauh dari stereotip negatif. Yang diperlukan hanya mencari dengan teliti, dan mengenal mereka dengan hati.

Menurut saya semua manusia itu sama saja. Tanpa melihat SARA, pasti akan ditemukan orang yang baik maupun yang jahat. Begitu juga dengan etnis Tionghoa. Saya temukan banyak yang menyebalkan, tapi orang-orang Tionghoa yang baik dan peduli pun tak terhitung jumlahnya. Begitu juga saat ini, saya temukan banyak etnis Tionghoa yang sangat baik, nasionalis, dan peduli akan kondisi sosial bangsanya. Saya tak perlu sebutkan sipa mereka satu per satu. Mereka adalah teman-teman saya, rekan-rekan diskusi saya ketika kegelisahan tentang bangsa ini sudah sampai di ubun-ubun, dan guru-guru saya yang memberikan bekal mengabdi selama setahun. Mereka adalah yang kita anggap “tak tersentuh” dan berbeda. Tapi mereka punya keberanian untuk berpikir keras membangun negeri ini, bersusah-susah hidup dalam kesusahan, berjibaku dengan kondisi alam yang keras, dan membaur bersama masyarakat.

Dengan pengalaman yang hebat dan tingkat pendidikan yang tinggi, mereka bisa saja mengenyam kenikmatan dalam pekerjaan-pekerjaan mapan, ataupun duduk dalam pemerintahan. Tapi mereka memilih untuk “hanya” menjadi bagian dari Pengajar Muda. Menjadi guru di daerah terpencil, mengajarkan kejujuran dan betapa bangsa ini masih elok meskipun rapuh pada hati anak-anak di pelosok negeri. Dan ketika perayaan Imlek tak bertabur warna-warni kembang api, dan Cap Go Meh hanya diiisi oleh suara lenguh sapi dan ringkikan jangkrik, cuma kalimat So Hok Gie yang saya ingat:

“Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seseorang yang ingin mencanangkan kebenaran”



Bharata Handoko
Sori Bura, Tambora, Cap Go Meh 2012

Untuk Ibu Wei, dan teman-teman etnis Tionghoaku

Senin, 02 April 2012

Broken Arrow


Sudah beberapa hari ini surau dusun di tempatku selalu ramai sehabis Isya oleh anak-anak. Di dusun yang hanya berjumlah 40 KK ini, tanpa listrik, dan udara dingin menusuk bersama angin bergemuruh bak derap kuda-kuda liar di malam hari, berada di luar rumah sehabis Isya bagi anak-anak adalah mustahil. Siluet pohon-pohon dadap dan kelanggo menjulang tinggi bak raksasa hitam dan suara desir angin di sela-sela daun adalah horor. Orang-orang dewasa pun, lebih memilih duduk di dalam rumah mengitari lampu minyak, sebuah kehangatan dan penerangan kecil yang menentramkan jiwa-jiwa sederhana. Jikalau tidak, mereka akan berkumpul di salah satu rumah, berbagi cerita yang tak jelas ujung pangkalnya, sambil membakar tembakau harum dan menyeruput kopi yang sepekat langit malam.
Sehabis Isya, anak-anak itu duduk bersila atau bersimpuh, membentuk setengah lingkaran atau berjajar rapi. Mata-mata kecil mereka berbinar memantulkan cahaya lampu minyak bak bintang kejora.  Mulut-mulut mungil berkomat-kamit menghapalkan surat-surat pendek Al-Quran. 10 surat pendek, tak kurang tak lebih. Mengalirkan bisikan ilahi di keremangan surau yang meruang.  
Menghapal surat-surat pendek untuk mengikuti lomba MTQ tingkat desa. Bukanlah sebuah prestise semata, tapi lebih bagaimana anak-anak bisa merasakan atmosfer kompetisi yang sehat. Bersabar mengasah kemampuan membaca Al-Quran malam demi malam, berani menyuarakannya dengan sebaik mungkin di atas panggung, dan berbesar hati menerima segala hasil meski tak juara, adalah hal-hal yang lebih berharga dari kemenangan lomba dan hadiah apapun.
Menghapal bukanlah hal yang mudah. Ketika mata harus memincing melihat huruf-huruf hijaiyah bersambung di bawah cahaya temaram, ketika lidah terasa kelu berucap karena tak terbiasa. Seperti bahasa Indonesia, membaca Al-Quran adalah hal yang luar biasa bagi anak-anak itu mengingat keterbatasan akses untuk belajar. Para orang tua memang fasih membaca Al-Quran dan berbahasa Indonesia, tetapi mereka adalah jiwa-jiwa sederhana yang bahkan terlalu sederhana. Seakan mereka sudah terlalu lelah mengolah tanah-tanah padas untuk bertani sehingga tak sempat memperhatikan pendidikan anak-anaknya, dunia dan akhirat. Namun kesadaran adalah sebuah proses, bukan kejadian serta merta atau pemberian sejak lahir. Kehadiran para pendidik, lomba MTQ ini, dan dengung suara anak-anak menghapal Al-Qur’an menggetarkan hati para orang tua betapa pendidikan itu penting.
Pada malam lomba semua orang berkumpul. Setelah dua hari dirundung was-was karena hujan lebat berangin, malam itu mereka merasa lega karena bisa mengadakan MTQ tingkat desa, yang bahkan ternyata adalah MTQ tingkat desa pertama di Kecamatan Tambora. Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat jagoannya beraksi, tak peduli harus melewati hutan gelap dan jalan licn berlumpur. Ini bukan pasar malam menurutku, tapi keceriaan orang-orang terasa seperti di pasar malam. Satu per satu peserta naik panggung, menampilkan kemampuan terbaik mereka. Tak terkecuali anak-anak. Setiap penonton menyaksikan dengan seksama seperti menonton layar tancap. Sementara temanya tampil, anak-anak lain sibuk komat kamit menghapal Al-Quran seperti merapal mantra, ataupun sekedar membaca beberapa ayat untuk meluweskan lidah yang kaku karena grogi.
Ada satu anak dusunku yang terlihat gelisah dan kesepian di tengah hiruk pikuk manusia. Bukan karena grogi, tapi seperti orang yang menanti sesuatu. Matanya menyapu seluruh sudut tempat lomba, sedikit-sedikit menoleh di antara duduknya yang tak jenak. Di sebelahnya duduk ibunya, mengusap lembut kening anak perempuanya yang sedikit menangis.  Ketika anak itu naik panggung, anak itu pun masih sempat menatap barisan penonton dengan hening sebelum membaca Al-Quran. Lidahnya kelu, nafasnya tertahan di awal-awal, seperti ragu melanjutkan lomba atau tidak. Dan ketika penampilannya selesai, anak itu turun panggung dengan menatapi anak tangga satu-satu, lesu.
Keluarga anak itu, ayah ibunya, baru saja bercerai. Pada bulan ramadhan yang seharusnya syahdu dan damai orang tuanya bertengkar. Amarah yang lepas menggetarkan dusun yang tak seberapa besar itu, dan setiap fajar menyingsing adalah sebuah episode drama tragedi. Seorang anak yang tumbuh dengan jiwa sederhana, di tempat di mana hiruk pikuk kehidupan dan lini masa seakan berhenti berjalan, harus menghadapi situasi yang kompleks di umur yang belia. Saat itu kulihat ia begitu tegar di usianya yang rapuh. Selalu tersenyum biar amarah yang mengelilinginya jua, selalu lantang bercakap denganku tanpa beban bahwa mala mengikuti. Tapi memang aku tak berhak untuk menilai perasaan manusia, apalagi seorang anak. Apa yang ada di wajahnya, di balik satu senyuman manis, bisa jadi adalah sejuta luka yang tak terperi. Ini adalah waktu ketika simpati dan empati tak cukup menyelami hati yang sudut-sudutnya adalah labirin perasaan yang menyesatkan.
Anak itu tetap duduk diam, sebuah keheningan di keramaian. Wujudnya seakan semakin surut di malam yang larut, air mata menitik yang seperti embun jatuh di malam yang salah. Esok hari, ketika matanya tak lagi sembab, ibunya bercerita kepadaku apa yang terjadi dengan anaknya semalam. Tepat ketika bayu mulai berdesir di sela-sela dedaunan, menggugurkan daun-daun berwarna kuning tanda penghabisan takdir, ucapan ibunya menambah ngelangut.
Pada malam lomba, anak itu menanti ayahnya pulang melihat ia tampil di panggung seperti ayah anak-anak lain yang mengantar menembus halimun dan menapaki kegelapan malam. Tapi di antara orang-orang itu, di antara wajah-wajah itu, tak satupun ia melihat wajah laki-laki yang ia kenal, wajah ayahnya....


Bharata Handoko
Sori Bura, Tambora, Idul Adha 2011

Untuk muridku yang pikirannya pernah mengembara ke medan Kurusetra yang berdebu