Minggu, 26 Juni 2011

12 Jam Perjalanan dan 1 Malam Penuh Bintang


Kita tak pernah tahu kemana kita akan melangkahkan kaki kita. Setinggi apapun cita-cita kita, sejauh apapun imaji kita melanglang buana, kita tak pernah tahu kapan dan di mana petualangan besar akan dimulai. Kita hanya memiliki kaki-kaki kecil yang setapak demi setapak menjalani kehidupan ruang dan waktu.
Begitu juga aku di sini. Di tempat yang aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Sebuah tempat sunyi sepi jauh dari centang penerang dan klakson yang melenguh panjang bernama Tambora. Sebuah tempat di mana hanya ada bayu yang mendesir dan tanah sabana beratap langit penuh sebaran bintang di malam hari.
Selama dua belas jam aku berguncang-guncang dari Bima menuju Kecamatan Tambora – tempatku mengajar selama setahun. Di jalan-jalan berdebu nan terjal diapit oleh Gunung Tambora di Selatan dan Laut Jawa di Utara, aku seakan tersedot perlahan-lahan menuju sebuah negeri baru. Dari keramaian kota, berlanjut ke jalanan beraspal yang menanjak, lalu perlahan memasuki pekatnya malam perkampungan di padang sabana. Dua belas jam yang pendek, namun juga terasa panjang di jalan yang seakan tak berujung.



Petualangan besarku berawal di sini. Di negaraku, di suatu tempat yang seringkali kulihat dalam peta namun seakan tanah antah berantah tak tersentuh. Petualanganku ternyata tidak dimulai di sebuah tanah bernama Amerika, tempat di mana aku menjejakkan kaki dua tahun lalu. Bukan kopi Starbucks dan sepotong muffin yang kunikamati di pagi hari, namun segelas kopi hitam pekat Tambora bercampur manisnya gula dan sepotong puncak gunung yang berwarna emas. Tak ada seribu kunang-kunang di Manhattan, tetapi langit maha luas dengan kerlip bintang-bintangnya diselingi sesekali bintang jatuh.
Setahun ke depan, bersama anak-anak yang akan kuajar, aku belajar menjadi Indonesia. Indonesia yang selama ini hanya kuketahui dari televisi, majalah, dan buku-buku pelajaran. Ribuan lembar kubaca selama bertahun-tahun tentang negeri ini, dan berjam-jam kutonton videonya, tapi aku tak pernah tahu secara pasti negeriku ini. Aku akan belajar menjadi Indonesia. Indonesia yang cantik molek dengan alamnya, Indonesia yang yang belum dipoles hedonisme dan modernisasi sehingga terlihat kumuh.
Aku teringat kala itu, seorang teman di hadapan Wakil Presiden berkata,”tempat-tempat terindah di Indonesia seringkali adalah tempat-tempat termiskin.” Entah mengapa, di saat-saat terakhir aku meninggalkan Jakarta yang seperti lautan neon, kalimat itu selalu terngiang. Bahkan, di tengah rasa sendu ketika melepas teman-teman satu pelatihan di bandara aku masih mengingatnya. Kami semua akan menuju tempat-tempat terindah di Indonesia, tapi kami juga akan mencemplungkan diri dalam keseharian penuh keterbatasan yang keras. 



Aku berfikir, apa yang dapat kuperbuat di tengah keterbatasan itu. Aku hanya anak kota yang terlanjur dibuai lama oleh kenikmatan. Apakah aku bisa bertahan di tengah padang sabana tanpa listrik dan sedikit air? Bisakah aku menamatkan petualangan besar ini? Sejak aku di bandara, dalam 12 jam terguncang-guncang di truk sapi, aku selalu berfikir. Tapi, dalam satu malam penuh bintang di Tambora, entah mengapa aku mulai yakin bahwa petualngan ini bisa kulewati. Mungkin yang kujalani nanti tak melulu berisi romansa. Mungkin aku akan terjatuh dan terperosok beberapa kali. Mungkin aku akan merasa lelah dan mengumpat di tengah jalan. Mungkin kehadiran dan karyaku di sini nanti tak semegah yang aku bayangkan. Dan ketika aku pulang, tak kan ada sambutan meriah bak seorang kstaria menang pertarungan. Tapi aku yakin bahwa aku bisa menjalani tugasku di sini, di tengah keterbatasan fasilitas namun bersama orang-orang dengan keramahan melimpah. Aku yakin aku mau mengajar dengan baik...dan anak-anak yang aku ajar nantinya yang akan mengubah tempat-tempat terindah Indonesia menjadi lebih baik. 



Sori Bura-Tambora, 22 Juni 2011

www.bharatahandoko.blogspot.com

Jumat, 24 Juni 2011

Abovo



 

Orang bilang, setiap manusia memikul takdirnya sendiri-sendiri. Begitu juga kami di sini yang berkumpul bersama berusaha mengukir sejarah kami sendiri. Sejarah yang tidak ditentukan oleh siapa yang menang dan yang kalah. Hanya kami, dari kami dan untuk kami.
Tak perlu kiranya kalian tahu kami satu persatu laiknya sebuah abovo kisah-kisah ksatria zaman dahulu. Meski kami datang dari tempat yang berbeda satu dengan yang lain, namun kami memiliki mimpi dan kemauan melangkah bersama. Kami mungkin bukanlah siapa-siapa, hanya sekumpulan pemuda biasa dengan mimpi-mimpi akan bangsa yang lebih baik.
Bisa saja kami satu di antara kalian. Orang-orang idealis yang berteriak lantang menanggapi ketidakadilan yang seringkali terjadi di negeri ini. Aktivisi-aktivis kampus yang galau akan masa depan bangsa. Atau pelahap buku-buku berat nan artistik sehingga kami menjadi bohemian muda yang naif. Bisa juga kami adalah anak-anak hedon yang suka pergi ke mall menikmati tubuh-tubuh semampai di sudut-sudutnya. Membelah malam di tengah hingar bingar musik dan remangnya lampu-lampu disko. Tapi, kami semua memiliki mimpi yang sama akan negeri ini.
Kami semua....ingin memberikan sesuatu bagi negeri ini. Selagi masih muda, selagi tenaga pikiran dan waktu memihak kami, dan selagi kesempatan ada. Dengan segala kerendahan hati kami menyebar ke seluruh pelosok negeri ini untuk mengajar bibit-bibit bangsa. Dengan segala kerendahan hati.....kami hanya bisa mengajar mereka membaca, menulis, dan berhitung, serta berbagai cerita tentang betapa luasnya dunia ini.
Kami tinggalkan gemerlap metropolitan dan parade knalpot yang tiada habisnya. Segala kemapanan dan kenyamanan yang telah mendarah daging di tubuh kami tinggalkan untuk menyesap sedikit rasa kehidupan yang lain. Rasa kehidupan di luar sana, di tengah keheningan panjang malam hari, di tengah gelap tiadanya listrik, dan terjalnya jalan-jalan berbatu.
Kami capai, kami marah, dan kami muak.....pada semua yang ketimpangan yang ada di negeri ini. Kami curahkan semuanya lewat demonstrasi, orasi, tulisan di media, blog, celotehan di jejaraing sosial, hingga obrolan di warung kopi (atau bahkan ketika kami mengigau..). But we choose to stop cursing the darkness, and start lighting the candle. Dengan segala kerendahan hati.....kami memilih menyalakan lilin dengan mengajar, karena hanya itu yang kami mampu.
Tak usahlah bercakap tentang nasionalisme, karena nasionalisme hanyalah benturan nafsi-nafsi. Kami pun sadar bahwa kami bukanlah superhero dengan aksi megalomaniak. Kami juga bukan obat bagi barisan sakit hati yang merasa ditelantarkan negara di luar sana. Kami hanya pemuda biasa yang berbagi mimpi yang sama. Mimpi bahwa Indonesia bisa menjadi lebih baik. Dan untuk itu, kami berjalan bersama-sama melalui sebuah gerakan-mengajar bibit-bibit penerus bangsa yang tersebar di pelosok negeri. Kami yang berkulit putih ataupun sawo matang, bermata lebar ataupun yang bemata sipit, yang berambut ikal dan yang lurus, berambut hitam atau pirang, hidung mancung maupun pesek, tinggi maupun pendek, serta semua perbedaan fisik yang selalu menjadi pemisah kita selama ini.  Kami berbagi mimpi, melangkah bersama, selagi muda. Mimpi akan bangsa yang lebih baik, yang sejatinya mimpi akan diri kami sendiri di masa depan.......
Bogor, 1 Mei 2011

www.bharatahandoko.blogspot.com




Senin, 28 Maret 2011

Ketika "Fuck" Masuk Desa

Weekeend kemarin saya dan beberapa teman mengadakan outbound untuk anak-anak korban Merapi, tepatnya di Shelter Gondang 1, Cangkringan. Acaranya memang sukses meskipun masih ada kekurangan di sana-sini karena keterbatasan koordinasi dan waktu (thanks to you guys...). Tapi satu yang bisa dipetrik dari kegiatan kemaren, saya dan teman-teman bisa jadi lebih akrab secara nyata karena selama ini kita seringnya ngobrol lewat social media dan hape. 
Oke, saya potong dulu ngobrol tentang saya dan teman-teman saya yang gila dan aurat sarat (wah kacau nih bahasanya). Di tulisan lain, mereka pasti saya bahas kok (kalo masih niat ingsun pastinya hehehe...piss fren).

Dari sekian banyak kesibukan dan kekisruhan yang ditimbulkan anak-anak kecil penggila outbound kemaren, ada satu momen yang menggelitik saya.Kebetulan waktu itu saya tugas di Pos 2. Pos ini letaknya di bantaran Kali Opak yang udah nggak ada airnya karena ketutup pasir Merapi (tapi enak lho buat downhill...). Kebetulan juga posisi kali ini menjadi pemisah antara desa tempat kami melakukan outbound dengan desa lain.
Lagi asik-asiknya ngasih permainan, salah satu anak ngomong ke saya begini: "Mas kae lho ono sing nakal, aku di-fuck cah-cah kae." (Mas itu lho ada yang nakal, aku di-fuck anak anak itu). Sambil bicara anak tersebut menunjuk anak-anak di seberang kali, dan otomatis mata saya juga melihatnya. Dan memang benar, ada segerombolan anak yang sikapnya provokatif dan salah seorang di antaranya mengacungkan jari tengah (what the hell...). Saya bilang ke anak-anak peserta outbound untuk tak ambil pusing dengan mereka dan lanjutkan permainan.
Selesai permainan, momen tersebut masih membekas di pikiran saya. Saya sempat ketawa kecil karena "kagum" bahwa anak yang notabene dari desa sudah tahu kata fuck dan gesture untuk mengungkapkannya. Tapi buru-buru saya juga mikir, apa segini besarnya pengaruh globalisasi dan budaya Barat buat anak-anak kita? 
Fuck memang sudah identik sebagai sebuah kata umpatan dan artinya jauh dari arti harfiahnya (senggama). Tapi melihat siapa yang mengatakan kata itu kemaren, saya bener-bener miris. Masih kecil sudah tahu kata umpatan yang sangat sarkas. Saya nggak tahu  anak itu tahu dan dapat darimana pengetahuan tata bahasa sarkasme ala gerombolan outlaw Amerika. Tapi yang saya tahu, pengaruh Barat sudah demikian besarnya hingga ke pelosok desa.

Saya lalu berjalan mundur ke belakang mengingat masa kecil saya ketika SD. Sekuat apapun orang tua mengajarkan budi pekerti, seketat apapun sistem sekolah mengajarkan sopan santun, anak-anak tetaplah anak-anak yang tumbuh  dan belajar dari lingkungannya. Saya pertama kenal bahasa umpatan kasar ketika kelas 3 SD dari teman saya. Pertama kali mendengar dan tahu artinya, saya merasa tidak sreg karena artinya yang kasar dan tidak senonoh. Tapi karena sering mendengar, akhirnya saya merasa biasa. Tapi tidak satupun bahasa umpatan yang saya tahu ketika kecil berbau Inggris. Tempat sekolah yang berpindah pindah memberikan saya pengetahuan bahwa sebuah kata bisa menjadi umpatan yang kasar itu sangatlah relatif, tergantung budaya dan tempat di mana kata-kata tersebut diucapkan. Di Pantura dan Jawa Tengah kata asu bisa jadi sangat kasar, tapi di Jawa Timur kata jangkrik bisa jadi lebih menohok.
Saya juga masih ingat, ketika itu media televisi sedang hot-hotnya karena televisi swasta bisa ditonton oleh banyak orang. Kalau sebelumnya kita harus punya antena parabola, saat itu saya cukup memakai antena dari wajan atau tutup panci bekas untuk menangkap "bocoran" frekuensi siaran televisi swasta. Alhasil, banyak serial kartun legendaris, film hollywood, telenovela, dorama Jepang, dan acara lainnya yang sebelumnya tidak bisa kita tonton karena TVRI hanya manyangkan acara-acara membosankan.
"Kebebasan" yang lebih untuk menonton acara televisi itu juga membawa dampak lanjutan yang dirasa negatif. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga memiliki kebebasan untuk menonton berbagai macam acara. Dari mulai Doraemon yang imut, hingga adegan ciuman film Hollywood yang bikin kemat kemut. Masyarakat kemudian berkata bahwa anak-anak menjadi dewasa sebelum waktunya karena televisi.

Kembali ke anak-anak yang sudah tahu kata fuck tadi, saya jadi sadar bahwa sarkasme bukanlah barang baru. Bisa jadi sebelum mengenal kata fuck, anak-anak tersebut tanpa sengaja tahu dari orang-orang sekitar. Anak-anak adalah peniru yang ulung yang sayangnya hanya pandai meniru, belum pandai memilah baik buruk.
Untuk pengaruh media, nampaknya saya sepaham kalau media membawa pengaruh yang besar bagi anak-anak. Tidak hanya televisi, tapi juga media cetak, dan jaringan internet yang mulai menjalar ke pelosok-pelosok. Saya tidak mengada-ada, karena jaringan internet di shelter bagi saya sudah cukup cepat untuk browsing dan mendownload data. Anak-anak di sana? Jangan kaget, mereka sudah melek teknologi dan melek internet. Mereka bahkan sudah paham apa itu touchscreen (layar sentuh) ketika saya membuka pesan singkat dari hape. 

Mungkin kondisi anak-anak yang demikian hanya potret kecil dari kondisi anak-anak di seluruh Indonesia. Tidak hanya orang dewasa yang bisa "terguncang " hebat oleh arus globalisasi, tapi anak-anak pun bisa mendapatkan pengaruh yang sama masifnya seperti orang dewasa. Menyalahkan anak-anak saya kira bukanlah hal yang bijak. Ini sama saja kita marah-marah kenapa kertas putih bisa dengan cepat berubah menjadi merah terkena lipstik, dan kemudian dengan mudah berubah warna ketika terkena warna lain.
Dalam pertjalanan pulang ke rumah sambil menikmati semilir angin gunung saya teringat Noam Chomsky yang mengkritik media Barat karena menelan mentah-mentah propoganda Washington tanpa tahu fakta sebenarnya di balik propoganda tersebut. Saya rasa kondisi kita pun setali tiga uang. Menelan mentah-mentah budaya Barat tanpa filter yang baik, dan celakanya perilaku sembrono ini  sadar atau tidak diwariskan ke anak-anak kita. 

www.bharatahandoko.blogspot.com

Rabu, 23 Februari 2011

In The Name of Chopsticks


Globalisasi di abad 21 telah membawa perubahan dan tantangan yang sangat besar bagi kehidupan. Didukung oleh modernisasi dan perkembangan teknologi informasi yang masif, globalisasi seakan menjadi keniscayaan yang tak bisa dibendung. Kontak dengan dunia internasional yang semakin intens pada satu sisi memberi dampak positif seperti kemudahan akses pertukaran informasi, dan kemudahan mendapatkan komoditi karena integrasi ekonomi, serta hubungan politik dan kemanan internasional yang relatif stabil. Di sisi lain, persaingan memperebutkan sumber daya menjadi semakin ketat, culture lag dan culture shock karena perbedaaan budaya antar negara, serta kecemasan menjadi pihak yang kalah dalam persaingan global. Hal ini disebabkan karena tidak semua pihak memliki kesiapan atau berangkat dari starting point yang sama dalam menghadapi globalisasi.
Kecemasan dan skeptisme terhadap globalisasi ini tidak hanya pada level negara, namun juga pada level akar rumput bahkan pemuda sebagai bagian yang tak terpisahkan. Sudah menjadi hokum alam jika pemuda sangat mudah dan selalu menjadi garda terdepan dalam mengadopsi teknologi atau budaya yang sedang tren. Tetapi bukan berarti semua pemuda bisa menghadapi konsekuensi dari pilihannya tersebut. Selalu ada terjadi benturan identitas ketika kita mengadopsi budaya luar. Sebagai bangsa Indonesia yang berfalsafah ketimuran, para pemuda terbentur dengan globalisasi yang dalam hal ini sering diidentikan dengan budaya Barat. Terlepas dari sains dan teknologi Barat yang lebih berkembang, arus deras budaya Barat yang masuk menggerus kearifan lokal menjadi marjinal. Celakanya, para pemuda sering mengadopsi budaya Barat dengan mentah-mentah. Sex bebas, drugs, hedonisme dan konsumtif adalah sekelumit dampak negatif.  Sementara pemuda yang berkecimpung dengan kemajuan teknologi hanya mengejar modernisasi dan kemajuan yang seringkali tidak cocok dengan kebutuhan bangsa kita.
Sementara itu, terlalu berpegang pada tradisi Timur yang kaku juga bisa berbahaya. Tradisi yang ortodoks menjadikan pemuda kita terlalu “patuh” dalam arti yang negatif, kurang kreatif dan miskin inisiatif karena menunggu wejangan tetua, dan self centered. Alhasil, di lapangan pemuda kita cenderung minder bahkan shock berhadapan dengan pemuda lain yang budayanya menajarkan kebebasan berpendapat. Padahal, di abad 21 ini manusia dituntut untuk menjadi semakin kreatif melakukan terobosan-terobosan sehingga diperlukan wawasan yang luas dan jaringan sosial yang tidak terkotak-kotak.
Untuk memiliki wawasan yang luas, pemuda harus melakukan pembelajaran komprehensif bahkan berani mengadopsi ilmu dari luar. Namu perlu kehati-hatian agar tak terjebak dalam pola konsumtif, hedonisme, terlalu outward looking dan apatis terhadap kondisi bangsanya. Untuk itu, perlu adanya tenik yang baik dalam memadukan budaya kita dengan budaya luar. Ketika saya masih duduk di bangku kuliah, seorang professor dari Korea mengnelakan falsafah dari Asia Timur, “Falsafah Sumpit”, bisa menjadi ilham pemuda dalam menghadapi globalisasi. Falsafah Sumpit berdasarkan pada bentuk sumpit yang memiliki dua sisi, aktif dan pasif. Bagian sumpit yang aktif bergerak melambangkan identitas Barat (kesetaraan, dinamis, demokratis, egaliter, bebas berfikir menjunjung tinggi sains). Sisi pasif (sebagai tumpuan) melambangkan sifat orang Timur (tradisi, norma budaya, agama) .Kedua unsur ini perlu dipadukan dengan baik laksana sumpit yang menjepit erat sebuah benda.
Dengan berpedoman pada sumpit, seorang pemuda tidak hanya mengantongi ilmu pengetahuan modern, namun juga cerdas menerepakannya sesuai karakter bangsa. Tidak hanya satu ilmu, namun semua ilmu ia pelajari dengan kesadaran bahwa semua ilmu itu milik Tuhan dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Bahkan seorang pemuda bisa membuat teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kultur bangsanya (seperti yang dilakukan Jepang dengan desain mobil yang irit, berukuran tidak terlalu besar, dan memuat banyak orang sesuai kutur orang Asia yang berperawakan kecil suka bersosialisasi). Selain itu, falsafah sumpit juga mengajarkan kita bahwa selain kecerdasan intelijensi (IQ), seseorang juga perlu memiliki jaringan hubungan sosial yang baik secara aktif (EQ/Emotional Question). Globalisasi memberikan kesempatan luar biasa untuk bertemu dengan berbagai macam orang dengan beragam latar belakang. Sehingga pengetahuan dan referensi kita pun semakin kaya.  Hanya pemuda yang memegang “sumpit” dengan baik yang bisa menjadi kreatif, dinamis, sehingga mampu bersaing menghadapi segala perubahan yang ada.



Minggu, 06 Februari 2011

Breakdance Neva Dies!!


Kita pasti sudah tidak asing dengan jenis tarian yang satu ini. Gerakannya enerjik, butuh ketekunan dan nyali, salah gerakkan otot bisa melintir. Alih-alih keren, malah menjadi kampungan kalau gerakan dilakukan tanpa perhitungan. Breakdance, satu dari sekian banyak tarian yang sedang digandrungi banyak anak muda saat ini. Beberapa tahun belakangan mulai kembali menunjukan popularitasnya setelah beberapa waktu lamanya seakan kehilangan gaungnya. 

Breakdance memang bukan barang baru dalam dunia tari, atau paling tidak dunia anak muda yang menyukai gerak tubuh dan koreografi.  Fenomena tarian ini sendiri sudah muncul sejak dekade ’70-an dan terus mendunia di tahun ‘80an. Lahir di tengah masa yang penuh pergolakan dan ide-ide tentang anti kemapanan. Breakdance dianggap sebagai salah satu kultur perlawanan dan menjamur di kawasan yang terkenal keras Bronx-New York. 

Sesuai dengan kemunculanya, breakdance memang identik dengan spotanitas dan emosi yang cenderung eksplosif. Lihat saja gerakannya yang tidak berpatokan pada satu mainstream tertentu. Tiap waktu, selalu saja ada gerakan yang baru dan dianggap nyleneh. Tapi bukan berarti tarian ini tidak memiliki “akar” sama sekali. Breakdance sejatinya dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu gesture fight atau gerakan tari yang menyerupai pertarungan sehingga membutuhkan kemampuan gimnastik tingkat tinggi. Yang kedua adalah kung-fu, yang memang saat itu booming oleh film-film Bruce Lee. Dan yang ketiga adalah musik James Brown (The Godfather of Soul) dan tarian uniknya ketika pentas. 

 Breakdance sendiri kemudian bukan lagi sebuah tarian yang hanya mengandalkan tren yang  bisa dilupakan dan dibuang begitu saja. Tarian ini sudah menjadi semacam subkultur seperti punk. Breakdance dan para penggilanya yang disebut breaker atau beat boy (B-boy), menjadi ujung tombak dalam menyebarkan budaya Hip Hop. Dalam hip hop, setidaknya ada empat unsur penting, yaitu tarian, DJ (Disc Jokey), MC, dan graffiti. So, jangan serta merta menyamakan hip hop dengan rap ya. Breakdance dan hip-hop malah mendunia lebih dulu ketimbang music rap, terutama di kawasan-kawasan yang terkenal “santun” seperti Eropa dan Asia. 

Pengaruh budaya pop seperti film Hollywood juga turut berperan dalam menjadikan breakdance sebagai tarian dunia. Flash Dance adalah satu film yang benar-benar membuat orang menjadi terbius, ketagihan, dan mendorong orang untuk mencoba tarian ini. Gerakan seperti backspin atau blacksliding benar-benar memukau banyak orang. Efeknya juga sampai ke Indonesia kok. Coba tanya papa-mama yang pernah muda di tahun ‘80an. Pasti mereka kenal apa itu tari kejang, yang filmnya populer dengan artis macam Dany Malik dan Rico Tampati. Peran mahabintang Micjael Jackson pun tidak kalah penting. Meskipun aliran music yang diusungnya bukanlah hip-hop, namun gerakan moonwalk-nya yang aduhai di dalam lagu Blly Jane bak obat bius terselubung bagi anak muda untuk belajar breakdance.(bhe; dari berbagai sumber)
 
Flash Dance sukses menyebarkan virus breakdance di dekade 80-an

* see my blog at: bharatahandoko.blogspot.com

Jumat, 21 Januari 2011

Indonesian Movie: Is It Done Yet?

Tanggal 30 Maret beberapa waktu lalu adalah sebuah hari yang penting bagi insan perfilman Indonesia. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia perfilman nasional, Hari Film Nasional setidaknya menjadi momen penting bahwa sejarah perfilman Indonesia telah berlangsung begitu panjang, yang hingga saat ini mencapai usianya yang ke-60. Dalam rentang waktu yang panjang itu pula, industri perfilman Indonesia mengalami jatuh bangun, mengalami masa jaya dan keterpurukan berkali-kali. Ironisnya, persoalan-persoalan yang dihadapinya pun selalu sama. Bagi sebagian orang, terutama bagi saya sendiri, perfilman Indonesia hingga saat ini adalah rangkaian sinematik kondisi bangsa Indonesia sendiri-jatuh bangun karena hal yang sama. Ketika industri perfilman sedang bergairah dan hampir mencapai puncak kreatifitasnya, hal ini selalu saja terganjal oleh isu-isu lama seputar sarana dan prasarana, kebijakan pemerintah, hingga pertentangan antara idealisme dengan kuasa modal.

Tengok saja rentetan judul-judul film yang telah dihasilkan oleh industri perfilman kita. Ketika industri berada pada puncak kreatifitasnya karena mampu menghasilkan film-film bermutu bagus, acapkali hal tersebut tercoreng oleh aksi beberapa produsen film yang membuat film asal-asalan dan tidak memperhatikan segi cerita dan asal laku. Fakta di lapangan mencatat, di tengah gandrungnya masyarakat kita akan film-film nasional, film nasional yang diproduksi malahan cenderung mengusung tema yang sama. Beberapa film bahkan terang-terangan mencaplok cerita film luar yang terang-terangan diketahui masyarakat luas, sementara beberapa film yang lain dengan vulgarnya mengusung tema berbau seks dan cerita setan yang hiperbolik. Sedih memang, tapi itulah film-film nasional yang terpampang di sebagian besar bioskop-bioskop Indonesia. Dari bisokop murah hingga jaringan 21.

Separah itukah kondisi perfilman kita? Jawabanya memang tidak simpel, karena kenyataanya sineas-sineas kita masih mampu menghasilkan sebuah karya yang bermutu. Beberapa film seperti Ada Apa Dengan Cinta (AADC), Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Naga Bonar Jadi 2 merupakan contoh film yang tidak hanya bagus dari segi mutu cerita dan gambar, tetapi mampu menarik penonton dan finasial dalam jumlah yang besar. Sementara di sisi lain ada film-film kita yang sungguh sangat artistik seperti Opera Jawa karya Garin Nugroho, dan Blind Pig yang kontroversial. Meskipun film-film ini memiliki nilai seni yang sangat tinggi, namun tidak bisa diapresiasi oleh masyarakat luas karena terganjal oleh jalur distribusi bioskop Indonesia yang ribet.

Antara Seni dan Komersialisme

Dewasa ini kritikus seni membagi sebuah karya seni menjadi dua kubu, yaitu seni tinggi (high art)-materi artistic yang membutuhkan selera tinggi dan cerdas untuk mengapresiasinya, dan seni rendah (low art)-sesuatu yang tidak butuh kecanggihan untuk menikmatinya. Beberapa orang kemudian menggunakan kata kitsch, dari bahasa Jerman yang berarti “mengkilat” atau rongsokkan” untuk menyebut seni rendah tadi. Sebagai sebuah karya yang tersusun dari rangkaian gambar, cerita, dialog, dan musik pendukung, film adalah sebuah karya seni yang kompleks. Sebagai sebuah karya seni pula, sebuah film bisa dikategorikan apakah itu high art atau hanya sebuah kitsch.

Apabila kategori ini diterapkan dalam perfilman kita, dengan melihat kenyataan yang ada di lapangan, sudah pasti mayoritas film kita masuk pada kategori low art. Banayk sineas kita yang ahli dalam membuat film dengan menampilkan gambar-gambar yang memukau, namun dari segi cerita terasa kurang bahkan datar-datar saja. Tema yang diusung pun hanya seputar cinta remaja yang dikemas ala kadarnya, sehingga tidak membutuhkan intelektual yang tinggi dalam menonton. Sediakan saja waktu luang, sekantung pop corn, tonton filmnya lalu lupakan. Di sisi lain, banyaknya film yang mengeksploitasi kisah horror dan menyerempet seks, film tersebut sudah jelas masuk dalam kategori kitsch dalam arti yang sebenarnya (baca: rongsokan). Perspektif seni apa yang dipakai untuk menilai adegan seks dan cerita hantu konyol, sementara judulnya pun tidak lepas dari kata-kata Ranjang, Perawan, Brondong, Kuntilanak, Pocong?

Memang dengan situasi yang ada saat ini, industri film lebih memilih memproduksi film laiknya sinetron kejar tayang. Cerita yang datar, mudah dibuat, dan laku di pasaran. Namun, bukan berarti sebuah film high art pun harus mengorbankan komersialisme. Bagi saya sebuah film high art tidak melulu tentang film festival yang sulit dipahami ceritanya, tetapi lebih kepada adanya pesan yang jelas dan mampu mendidik masyarakat melalui cerita yang bagus. Laskar Pelangi dan AADC adalah contoh bahwa sebuah karya seni tinggi tak harus bertentangan dengan komersialisme. Laskar Pelangi memberikan inspirasi kepada kita bahwa hidup itu patut diperjuangkan sesulit apapun. Di sisi lain, film tersebut juga menyadarkan kita bahwa bahasa daerah pun patut kita kembangkan sebagai salah satu elemen penting dalam film, sejajar dengan Bahasa Indonesia dan bahasa loe-gue. AADC mampu meremajakan kembali film bertema anak muda dengan cerita yang mendalam, dan dalam waktu yang sama membangkitkan kegairahan kita akan sastra (setidaknya membaca buku Aku-nya Chairil Anwar).

Sudah saatnya sineas Indonesia mengembangkan kreatifitasnya dan tidak terjebak pada tema-tema tipikal untuk filmnya. Masih banyak tema lain yang perlu digali dan laku di pasaran. Memang untuk membuat sebuah tema yang belum familiar, diperlukan keberanian dan modal yang tidak sedikit. Di sinilah peran produser film untuk memberi dukungan modal dan bersinergi dengan kreatifitas para sineas. Dengan demikian lahirlah sebuah film yang tidak hanya bermutu tinggi, namun juga tidak hilang nilai komersialnya (paling tidak bisa didistribusikan di jaringan bioskop Indonesia sehingga bisa ditonton banyak orang). Saya ingat di penghujung tahun 1990-an, ketika industri film kita mati suri, empat sineas muda Indonesia bergabung membuat satu film yang bersisikan empat cerita. Keempat cerita dalam film itu tidak berhubungan sama sekali, dan sedikit membingungkan karena konsep seperti itu memang belum umum di perfilman kita. Film tersebut berjudul Kuldesak (yang artinya jalan buntu dalam bahasa Perancis). Tidak bagus-bagus amat memang, dan tidak ditonton banyak orang. Namun di sana ada semangat untuk menghidupkan kembali perfilman Indonesia dengan segala keterbatasannya. Kita juga berharap film Indonesia juga tidak berakhir dalam kuldesak atau jalan buntu untuk mengembangkan diri.

(Jogja 14 Mei 2010)

Sabtu, 15 Januari 2011

VIA DOLOROSSA

Melihat langit malam itu, serasa melihat kunang-kunang di Manhattan. Seribu warna-warni memecah riuh di atasa sana, di tengah langit yang masih diselimuti biru sehabis hujan. Bunyi meretak, lalu disertai gemuruh suara manusia nan riuh rendah. Terompet ditiup kuat-kuat, seakan hingga penghabisan nafas yang terakhir.
Setahun berlalu, setahun pula terasa begitu cepat. Yang lalu kuhabiskan ujung tahun dengan segelas bir di genggaman tangan, tahun ini kuhabiskan dengan seliter box susu sapi hahahaha…! Tapi satu perasaan yang sama, esok pagi aku bangun dengan perasaan dikejar-kejar oleh arus kehidupan dan raungan nafsi-nafsi manusia.
Dalam waktu yang singkat itu, yang indah namun menyimpan kesedihan, yang terang namun terasa temaram, di dalam keramaian yang sepi terenyuh, aku bagaikan sampai pada titik nadir. Kuangkat minumanku tinggi-tinggi, berhenti sejenak, lalu: "Selamat Tahun Baru!!." Bersorak hingga penghabisan.
Jalanan kutatap kosong, semilir angin malam yang berlalu lembut. Dosa masa lalu yang tak ingin kulihat lagi, doa yang terus terucapkan dari sang bibir untuk esok hari, dan langkah kaki yang semakin berat namun tetap menopang kuat dari hati yang terus bergita cinta. Aku pergi, selamat tinggal semuanya, semoga bisa kusongsong karmaku yang baru….oh Tuhan, dan akhirnya kuucap bismi……bismi……bismi….(dan setitik embun mengalir dari kelopak mataku kawan).

(new year eve 2008)