Sabtu, 08 Januari 2011

MOI INSULINDE

Berdirilah
Di tempat kita memijakkan kaki
Maka kau rasakan bulir-bulir pasir membalutmu
Dan sang bayu meraba tubuhmu

Rasakanlah harumnya bau tanah ini
Yang bercampur dengan guguran dedaunan
Berwarna kuning dan coklat
Sebagai lambang akhir dari hidup kita

Saat matahari senja pancarkan sinarnya
Hangat keemasan merambati tubuh ini
Maka kau rasakan kedamaian dalam jiwa

Saat debu membawa pesan sang Pencipta
Diiringi tarian bidadari kecil berwarna-warni
Pijakkanlah kakimu lebih kokoh
Dapatkah kau rasakan alam bertutur padamu?
Tentang kisah cinta abadi antara sang langit dengan sang bumi

Kau bisa melihat ribuan gadis terbang
Tebarkan wewangian syurga
Dan rasakanlah kesegaran air berkilau intan
Untuk membasuh raga-raga yang sepi

Di tempat kita berpijak ini
Dimana suatu saat  sayap tumbuh dan terbangkan dirimu
Dengan awan sebagai alas
Agar kau tahu betapa elok cahaya zambrut
Yang sinarnya jatuh lalu melompat-lompat
Menari-nari kecil di depan matamu

Ketika kau turun menapakkan kakimu kembali
Di sana kau melihat ia menunggumu
Bercahaya dipayungi sinar mentari
Dengan senyuman teduh
Maka berdansalah dengannya
Bersama seribu malaikat memainkan musik
Di tengah bung-bunga yang melambai
Bersama tatapan cinta sang purnama
Dan alam sungguh menyaksikan….

Catatan Seorang Kuli Tinta

Manusia menulis untuk menyampaikan isi hatinya. Ketika kata-kata terbatas untuk diucapkan dan bibit pengertian tidaklah bersemi dan tumbuh.
Seseorang menulis apa yang ada di pikirannya, yang terpendam dalam pasir misteri. Hingga pada suatu batas yang dicapai dan perasaan dalam hati tak mampu dibendung lagi, maka menulislah. Di saat kau sendiri, ketika tiada teman ataupun seseorang untuk kau bagi ceritamu, hanya tembok-tembok masif nan bersawang dan lantai yang dingin, tumpukan buku-buku berdebu menyesakkan dada.
Menulis, ketika sesuatu tak bisa terucap sempurna dari bibirmu. Ketika waktu tak sejalan dengan idealismemu, dan ketika orang lain menganggap remeh dirimu lalu kau merasa terasing dan sepi di keramaian.
Menuliskan apa yang kau pikirkan, sekedar mengingatkanmu bahwa kaupun perlu melihat kembali masa lalumu, catatan usang di kertas takdir yang belum tuntas dan hampir terlupa. Atau sebagai penghiburmu, seperti komik; cerpen; novel; ataupun kisah-kisah roman picisan dan komedi satire hidup kita.
Aku menulis karena darahku adalah darah penulis. Dimana kutemukan petualangan dan pacu adrenalin di situ. suatu ketika nadiku hampir putus dan hidup terasa hambar, tulisanku menyambungnya dan memberi rasa kembali.
Meskipun tak setiap hari aku menulis, tapi tetap kurasakan "itu" adadan tak pernah hilang. Dari tinta yang terus mengalir, ujung pena yang terus menggores, dan hati serta pikiran yang tak pernah terlelap……

Kamis, 06 Januari 2011

INSOMNIA

Malam yang mendung…
Udara dingin, tapi masih berdetik tuts-tuts kibor di sebelah kamar
Tak ada kopi, tak jua sebatang rokok berkuncup merah merekah di ujung nan berasap
Tak ada nafas yang dihembus hingga penghabisan
Mata masih berbinar dan bola mata hitam masih berjingkat-jingkat
Sinar lampu jatuh di lekukan gitar…
Ahhhh, siluet Ken Dedes di pojok kamar terbentuk sempurna!
Kamar gerah, tapi terasa berkabut di langit-langit
Tubuh berbalut tipisnya kulit meringkuk di atas gumpalan kapuk
Menahan dingin kehidupan yang menjalar cepat, dan jemari mencengkeram bumi
Tak perlu pusing kawan, tak perlu takut
Risau di tengah sepi adalah keniscayaan dalam hidup
Dan rasa sepi di tengah kermaian dan klakson-klakson adalah kewajaran
Kadang kita perlu menari riang di saat gramafon tua memainkan cakramnya
Aku mau tidur, sudah malam
Tak perlu jua diriku menyelami belantara pikiran kiranya
Cukup menutup tirai di muka ini lalu rebah di atas ibu pertiwi
Rasa nyaman yang merayapi tubuh ini sejatinya adalah hal yang filosofis
Olah rasa dalam kematian rasa, olah batin dalam nafas yang berdzikir
Hingga esok waktunya, ketika kecoak mencongklang kakinya di atas wadag
Dan sukma membisu di bawah tarian rembulan
Pandangi batu nisan yang kukuh dan kesepian

CATATAN HARIAN MAHASISWA

Ehem...sebenrnya ini tulisan udah lama banget. Dari blog waktu masih menjadi mahasiswa yang udah lama gak jelas nasibnya. Maklum, soalnya ngikut Friendster. Begitu jejaring sosial yang satu ini udah kolaps, blognya pun ikut saya tinggalkan. Sekedar untuk refleksi, terutama yang pernah, mau, atau mikir kuliah HI.

Akhir-akhir Jogja sering hujan, deras banget. Banjir di sana-sini, meski dalam hitungan sepersekian menit langsung surut. Yahh…lumayan juga mengusir hawa gerah dan debu yang melekat di tubuh. Air langit sejenak meniadakan kesumpekan kota, deru parade knalpot dan klakson yang ngak-ngik-ngok, serta hingar bingar urban lifestyle yang galau.
Seperti sore ini, ketika langit tak lagi memaki warna jingga untuk peraduan matahari, tetapi lebih suka selendang biru abu dan sedikit kabut ipis. Aku duduk di kedai kopi, menatap langit dari balik jendela yang basah oleh titik hujan, sama seksinya seperti peluh perawan desa.  MAsih aku genggam segelas kopi hangat, asapnya masih menari-nari, dan baunya harum seperti candu. Ballpoint masih kumainkan di tarian jemari, sambil sesekali mata melirik rentetan daftar mata kuliah. Ah…memang hidup serba berencana, tak ada yang serta merta. Big bang pun ditulis Sang Kuasa sejak zaman azali.
Baru melihat daftar mata kuliah saja, perasaanku seperti sudah kuliah sekian hari. Memilih mata kuliah saja otakku harus berkalkulasi, melakukan serentetan impuls logika, dan keputusan seperti sebuah tesis. Anjirrrrr!!!!! Liyer euy!!! Kenapa main-main imajinasi segala, pikirku? Apa memang kuliah di HI itu cuma imajinasi ya? Gak ada konkretnya? HI=Hanya Imajinasi, ehehehehe………..nice!!
Dulu aku memang setuju jika kuliah HI itu Hanya Imajinasi belaka. Berdebat dengan berbeda mahzab tanpa ujung yang jelas, dan yang diperdebatkan pun bukanlah hal real yang dihadapi. Kuliah seperti sebuah drama satu babak, semuanya hanya dibayangkan, tanpa pernah melihat dan menyentuh materi yang dipelajari. Ehh…materi? Imajinasi itu kan abstrak, materi itu konkret bung!! Filsafat ilmu berkata bahwa cara mendapatkan ilmu pengetahuan adalah dengan membayangkan, dan ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang fana. Nah….jadi sudah paslah kiranya kalo HI itu dapat embel-embel ilmu. dengan kuliah di HI berarti aku sudah jadi intelek ya??Ssssssszzzzzzzuuuukkkkkkzzzzzzsssssseeeesssszzzzzzzz!!!!!
Tapi belakangan pendirian ini agak goyah juga. Melihat perkembangan yang ada di HI akhir2 ini. Tapi kan wajar aja kalau pendirianku goyah, bukankah manusia itu selalu berdialektika dengan masanya juga kehidupannya? Apakah HI=Hanya Imajinasi? Apakah hanya sesederhana itu? Atau aku yang terlalu mengkomplekskan sesuatu?Atau……………
Aih! Jika HI itu Hanya Imajinasi belaka, bukankah kuliah di HI sangat mudah. tinggal modal angan-angan, imajinasi men!! Ngelamun pun bisa menghasilkan sesuatu yang ilmiah. Gak perlu di ruang kuliah, atau berkeringat dingin di ruang sidang skripsi, nongkrong sambil ngelamun di WC umum terminal pun kita bisa belajar HI. Bukunya juga variatif, sesuai imajinasi kita. Dari Oliver Twist sampai The Clash of Civilization. Dari majalah Kuncung sampai jurnal HI. Semua bisa dijadikan referensi, shahih!!
Tapi kenyataannya, memang gak sesimpel itu. Kebanyakan orang sudah terlanjur beranggapan bahwa yang ilmiah adalah segala sesuatu yang menggunakan kata-kata berat, penuh istilah ilmiah, plus segala pertentangan mahzab yang gak ada bedanya dengan klimaks sebuah novel. Apa yang kekanakan, lucu, tak berbau kalimat ilmiah, adalah sesuatu yang buang-buang waktu dan sampah. Novel, majalah anak-anak, dan semua cetakan yang dengan senang hati kita bawa lalu dibaca dengan riang, rasanya hanya jadi eskapisme belaka dari dunia politik yang semakin absurd.
HI=Hanya Imajinasi? Apa memang demikian? Masihkah seperti itu, pikirku? Atau ini hanya sebuah lelucon basi saja? Jika HI memang Hanya Imajinasi, kenapa banyak nilai yang jeblok di ujian semester? Kenapa kita selalu berwajah tegang setiap kali menghadapi kertas ujian, dan tak tahu harus menulis apa. Kertas yang kosong seperti cerminan kekosongan mata, otak, bahkan batin kita. Jika HI Hanya Imajinasi, kenapa masih ada dari kita yang dengan susah payah mencontek pekerjaan temanya? Parahnya, yang mencontek pun tidak sadar bahwa mencontek pun butuh imajinasi, tidak hanya sekedar menyalin sama persis kalimat-kalimat dan titik-komanya. Benarkah HI Hanya Imajinasi? Padahal untuk menjawab soal ujian ngawur pun bisa dapat nilai yang bagus ( sumpriiittttt…..!!!!!)
Aku tidak membela orang-orang yang mencontek. Karena pada dasarnya mencontek adalah pekerjaan orang-orang malas, dan orang malas layak dibuang ke tong sampah! Itu di satu sisi, di sisi lain aku menganggap mencontek adalah sebuah seni. Seni bagaimana kita menyalin sesuatu milik orang lain, tanpa diketahui. Untuk tidak diketahui membutuhkan serangkaian proses yang kompleks. So, mencontek juga bukan pekerjaan kasar kuli panggul, tapi juga membutuhkan berfikir dan merancang strategi. Tapi ya, gobloknya orang-orang yang ketahuan mencontek kahir-akhir ini di lingkungan kuliahanku. Mencontek saja gak bisa, ketahuan, bener-bener guoblok pisannn……

(ditulis 19 Februari 2007)

CORAT CORET MAHASISWA DI WARUNG BURJO

Apa kabar dosenku…..? Yang sedang duduk di belakang meja dengan segelas kopi di pagi hari, nikmaaatttttt…..!!!! Mencorat-coret di tumpukkan kertas, tawa-tiwi dengan segenggam hape. Ahhhhh…indahnya pemandangan itu bagi kami.
Di balik blazer, kemeja yang rapi, dan laptop mulus yang kau pakai, ada ribuan kegelisahan muridmu lho. Yang setiap hari lupa sarapan (yahh…mungkin gak pernah ada duit) berlari-lari di belantara hutan beton dan parade knalpot di setiap paginya. Bukan matahari cerah yang kami khidmati, tak lagi kami rasakan sejuknya cuaca subuh. Semua hanya ketergesaan hidup manusia yang nyalang diterpa materi.
Pernahkah kau merasakan itu, dosen? Aku yakin pernah, karena kau pun dulu seperti kami. Lembur setiap hari dengan membunuh rasa kantuk demi tujuh hingga sepuluh lembar kertas paper, dan esok masih harus berjingkat menghadapi sekumpulan kalimat ilmiah. Ahhh…kuralat pertanyaanku saja. Bukan pernah, tetapi masihkah kau mampu merasakan itu? Bahkan di tengah happy hour internet, hape yang ditenteng setiap hari, komputer yang murah, dan wi-fi gratis, beban kami pun makin berat. Alamak jang, kurikulum makin sadis! Resah pun tiada berkurang jua.
Apa yang aku dapatkan dari setiap tutur katamu? Selain hanya siaran Dunia Dalam Berita. Tanpa masuk kuliah pun aku masih bisa eksis, dan dengan bangganya aku mengakui bahwa diriku cum laude!!! Masih ada bisik-bisik di telingaku setiap harinya, di tengah deru mesin dan klakson: " Kuliah kita cukup bermodal satu ekskemplar koran KOMPAS setiap harinya untuk bisa mencapai nilai cum laude." Apa iya memang begitu sikonnya? Kalau betul? Duit kami buat apa dong?
Di balik teori yang samar-samar itu, apa yang hendak aku sampaikan pada kami. Pentingkah? Atau hanya untuk sekedar formalitas mengisi sela waktu kosongmu? Karena pada dasarnya yang kau ucapkan jua hanya salinan tumpukan buku-buku perpus. Lima belas menit aku berdiskusi di perpus, sama ampuhnya dengan sembilan puluh menit pertemuan kita.
Kubaca ini dan itu, kutulis ini dan itu, lalu kuucapkan ini dan itu. Tapi semuanya seperti tumpukkan jerami di kandang kuda. Hari ini kutumpuk, esok kutumpuk lagi dengan jerami yang baru. Gak ada substansinya, itu bahasa kerennya kan?! Aku membaca buku seakan candu. Tapi yang sering ada sih, fotokopi buku doang nih, biar hati ayem. Perkara itu buku dibaca atau nggak, urusan belakang. yang penting IP naik teruuuuuusssssssssssssss……..kayak tarif listrik, air dan BBM hehehehe!!!
Kulihat senyum teman-temanku, dosen. Ketika mata mereka berbinar melihat serentetan nilai "A" di secarik kertas tipis (dengan huruf ketikan yang jadul punya). Tawa yang renyah ketika tubuh ini dibalut toga, plus menggenggam secarik kertas (lagi). Tapi sehabis itu…???? Tetap saja ada resah tersembunyi di balik mata yang berbinar dan tawa renyah itu. Esok badan ini harus bertempur lagi. Tak peduli peluh mengucur, dan kelopak mata sudah sehitam oli serta sorot yang redup. Ada jiwa yang meringkuk pasrah di lantai, dirayapi hawa dingin yang menusuk, sekian bulan, sebelum di balut toga. Dalam sepersekian detik  perasaan kalut itu hilang, dan rasa sakit berganti rasa bahagia. Tapi dalam sepersekian detik itu pula, tubuh ini terasa dicabik-cabik oleh kenyataan hidup.
Apa kabar dosen, semoga kau tak lupakan kami, muridmu. Yang datang di tempatmu dengan segenggam mimpi, ketika dulu pertama kali. Kami bukan uji coba materi penelitianmu, dan setiap dari kami memiliki impian dan keunikan masing-masing. Tuhan memang tidak pernah menciptakan manusia sama secara identik. Tapi kami, sekumpulan anak manusia yang kau ajar setiap harinya, punya keresahan yang sama tentang hidup, dan harapan yang sama tentang hidup. Kelak esok setelah kami lulus dan tubuh berbalut toga, semoga hari itu langit bersinar cerah, dan esoknya jua.

Geneology Melancholia

kemana kita akan pulang?
ketika jiwa mulai lelah didera sejuta topan kehidupan…
ketika tertawa kita tak mampu..terlalu capai badan ini untuk bergoyang bebas di bawah guyuran hujan
kaki-kaki berlumpur terseok-seok di tanah berdaun coklat…warna penghabisan takdir

ketika mata mulai memincing dalam tatapan sang surya jingga berjubah kelabu
ketika kulit mulai keriput…..rambut memutih dimana kebijaksanaan harus ditampilkan..
hembusan halus dari aliran kesabaran kita….ketika semua seakan mulai pergi meninggalkan kita

kemana kita akan pulang?
kemana aku akan pulang?
ketika aku mulai tersesat….di rimba gelap dunia
ketika aku terpaku sendiri di padang pasir luas rasa sepi

mampukah aku pulang?
membuka pintu hatimu untuk menerimaku….
memapah tubuh nyaris terkapar berpeluh dosa ini
lalu membasuhnya dengan air suci kasihmu….
masih maukah kau menatapku dengan binar bola mata hitammu?
membaca dongeng-dongeng …..menyeduh air teh surgawi

masih maukah kau?
ketika aku sudah begitu rapuh…ketika aku hanya bisa tertunduk tak lagi gagah seperti dulu
langkah-langkah kecil di jalan setapak padamu…
hanya ingin tiba sebentar sedikit bincang dan tawa…
dan bisik terakhir di telingaku….halus bagai sang bayu..
akan kulihat ketika aku terbang ke langit ketujuh….
di jendela rumah bertemaram lilin kecil…kau hantar kepergianku dari kepulangan pada belah hidupku

Jumat, 31 Desember 2010

NEW YEAR EVE 2007

Apa yang baru?
Tanya dalam hati di tengah gemerlap kembang api di langit biru gelap
Hingar-bingar ribuan manusia…
Bercanda dan tertawa, lalu meniupkan terompet
Sesuatu yang terus berulang dan akan berulang layaknya seremonial tanpa makna


Di luar ramai, sangat ramai..pikirku
Hingga hanya tersisa rasa sepi yang sangat di dalam hati
Berkumpul saling menggenggam tangan erat-erat..
Di antara bibir yang terucap olehmu…aku merasa hangat
Walau nyala unggun berkerlip-kerlip nyaris penghabisan


Tapi di dalam juga sepi….
Tak ada nyala unggun, tak ada kembang api yang meretak-retak serta warna-warninya
Hanya aku dan imajiku….antara alter dan ego yang saling menatap bisu
Tubuh yang meringkuk di gelap hari…
Diam tertunduk sepi, lalu menggigil di kedinginan yang merayap cepat dari bumi
Aku…..menangis….


Langit mendung…lalu hujan rintik-rintik..
Aku tak suka….terlalu terenyuh, sunyi, dan melankolis
Bangku yang kosong bisu…dimana ada aku dan kau dulu bercakap
Kini seperti tertunduk meringkuk pasrah
Sosok gelandangan di emper-emper gelap jalan Sarkem


Tepat ketika kedua jarum jam saling menghimpit pada satu pemberhentian….
Langit berpendar di atas kepalaku
Ada bunyi meretak…dan sorak sorai ribuan jiwa yang nyalang di tengah waktu tidur
Bunyi terompet membahana dan lebih syahdu….
Lebih khusyuk didengar daripada bunyi lonceng gereja ataupun adzan sang muadzin


Kugenggam botol bir yang setengah kosong…atau setengah isi?
Bir dan ruang kosong botol membentuk sebatas garis tipis….
Persis…seperti jarum jam malam ini dan bunyi loncengnya bergemuruh namun hening
Bir dan jarum jam di angka dua belas…
Lucu tapi juga membuatku ingin lari ke ujung dunia
Kosong isi botol sepeti kehampaan dan maut yang berjalan bersama sang hidup
Isi bir yang berbuih seperti sang hidup tapi hanya membawa fana…
Keduanya hanya terbatas segaris tipis…rentan dan mudah saling merasuki
Seperti masa lalu dan masa depanku yang dibatasi antara satu detik yang lalu dan satu detik yang akan datang lewat detak jarum jam


Akhirnya memang tak ada yang baru…meski bibir berteriak Happy New Year!!
Aku dan juga kau bahkan mereka…mungkin…tak mengucap itu dari hati
Hanya sebuah impuls syaraf di otak dan menggerakan motrik pada bibir
Kalkulasi matematis yang mudah divariasi polanya…tak pernah menjadi hakiki
Semuanya menghasilkan tesis yang sama..
Hidup yang selalu berputar seperti roda…bundar
Ketika bundar menjadi kotak bahakan berubah menjadi wujud lain…kehidupan menjadi goyah dan hancur
Terkadang modifikasi maupun intervensi pola adalah sesuatu yang fatal
Stagnansi adalah sebuah kehendak illahiyah dan suci


Selamat tahun baru kawan…
Dimana esok kita berjalan di tanah yang sama dan udara yang sama
Meski kita jumpai hal-hal baru..mungkin
Semua hanya pergantian warna lampu lalu lintas di persimpangan jalan
Ataupun cat tembok yang suatu saat mengelupas dan diganti dengan warna-warna yang berbeda..toh tembok tetap tembok
Lalu di malam pergantian tahun selanjutnya kita menggenggam botol yang sama
Dan kepala yang terasa berat di pagi hari sesudahnya…